Jelang Pergantian Tahun, PP. Muhammadiyah Sampaikan 4 Poin Refleksi Kebangsaan

MONITORDAY.COM - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir sampaikan refleksi akhir tahun 2021 secara daring pada Rabu (29/12). Menurutnya refleksi adalah merenungkan apa yang telah kita lewati, dan memproyeksikan apa yang akan kita lakukan ke depan.
"Kalau kita amati, perkembangan kehidupan kebangsaan kita termasuk di dalamnya kehidupan keagamaan di Muhammadiyah hadir, kita selalu menghadapi problem dari berbagai aspek, namun secara bersamaan kita juga menghadapi kemajuan," ujarnya.
Haedar mengatakan bahwa demokrasi dan HAM mencapai kemajuan yang luar biasa pasca reformasi. Namun sebagaimana kehidupan manusia pada umumnya, pasti tidak akan sepi dari masalah dan tantangan. Misalnya demokrasi prosedural tidak berbanding lurus dengan demokrasi yang substantif. Untuk mencapai demokrasi yang substantif perlu pendewasaan bagi rakyat dan juga pembenahan dalam sistem.
"Sering terjadi perbedaan parameter yang digunakan untuk mengukur demokrasi. Kita menggunakan parameter demokrasi di negara barat. Padahal Indonesia mempunyai nilai yang khas, misalnya gotong royong. Parameter demokrasi barat tidak selalu pas dalam demokrasi dalam konteks keIndonesiaan," tambahnya.
Selanjutnya adalah soal nilai yang terkandung dalam demokrasi. Misalnya dalam sila keempat, demokrasi Indonesia mempunyai nilai hikmah, nilai permusyawaratan dan nilai perwakilan. Pasca reformasi apakah nilai musyawarah dan perwakilan masih melekat dalam demokrasi kita? Kita perlu merumuskan parameter demokrasi yang dilandasi dengan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat.
"Dalam menghadapi pemilu 2024, bisakah kita merenungkan kembali untuk memasukan kembali nilai demokrasi pancasila, untuk memberikan keseimbangan terhadap demokrasi liberal? Penting menjadi bahan kajian bagi ahli ilmu politik. Bagi para ahli ilmu politik pun tidak memadai jika pandangannya murni positivistik," tutur Haedar.
Poin refleksi kedua bagi Haedar isu agama akan selalu sensitif dalam kebangsaan karena agama melekat dalam kehidupan bangsa dan ada dalam konstitusi kita. Maka akan menjadi ahistoris jika agama dihilangkan dari negara. Namun sejauh apa agama masuk ke dalam urusan publik? Indonesia sudah mempunyai kearifan mengenai hubungan agama dan negara.
"Dalam tolok ukur sekuler liberal maka akan terjadi bias dalam melihat agama dan umat beragama di Indonesia. Namun terjadi juga semangat revivalisme agama yang berusaha mencegah sekularisme dan liberalism. Namun revitalisasi tersebut melahirkan konservatifisme agama. Hampir di berbagai belahan dunia ini muncul konservatifisme. Hal ini juga menjadi problem," tegasnya.
Poin ketiga dalam refleksi akhir tahun mengenai isu moderasi beragama. Menurut Muhammadiyah diperlukan metode yang integralistik.
"Muhammadiyah sudah mempunyai alat untuk Islam Wasathiyah yakni bayani, burhani dan irfani. Bagi Muhammadiyah wasathiyah saja tidak cukup, namun juga mesti berorientasi maju, yakni wasathiyah berkemajuan," ujar Haedar.
Poin terakhir menurut Haedar kita perlu juga rekonstruksi paradigma ekonomi konstitusi yang kapitalistik dan eksploitatif. Muhammadiyah menawarkan solusi agar ada kebijakan progresif untuk menguatkan ekonomi rakyat di kalangan mikro, kecil dan menengah.
"Yang besar-besar mau mengerem diri dan mau berbagi kepada yang kecil dengan kebijakan negara. Mudah-mudahan di 2022 sampai 2024, ada kebijakan progresif untuk mengangkat kelompok ekonomi mikro dan menengah sehingga mereka semakin maju," tutupnya.