Inilah Masukan Muhammadiyah Terkait Pembahasan RUU Pemilu

Masukan Muhammadiyah terkait RUU Pemilu dari saksi hingga Parliamentary threshold

Inilah Masukan Muhammadiyah Terkait Pembahasan RUU Pemilu
Istimewa

MONDAYREVIEW.COM- Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan masukan terhadap pembahasan  revisi undang-undang (RUU) Pemilu yang sedang digodok oleh DPR.  Masukan tersebut langsung ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum, Dr. H. Haedar Nashir, M.Si dan Dr. H. Abdul Mu’ti, M.Ed, di Jakarta, Jumat (9/6).

Muhammadiyah mengusulkan agar dana bagi saksi pemilu tidak dibiayai APBN. Apabila itu dijalankan dianggap akan merusak tatanan penyelenggaraan pemilu dan membebani anggaran negara.

Bagi Muhammadiyah anggaran negara yang dialokasikan untuk saksi pemilu sebaiknya digunakan untuk pembangunan bangsa. Misalnya untuk  pembiyaan pada sektor kesehatan, pendidikan dan lainnya.

Selain itu, Muhammadiyah juga menilai bahwa pemberian dana saksi kepada partai politik tidak serta merta mengurangi kecurangan dalam pemilu. Untuk mengurangi kecurangan, dapat ditempuh cara-cara untuk memperkuat fungsi pengawasan dalam pemilu.

Lebih lanjut Muhammadiyah menyaran agar KPU Kabupaten /Kota sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemilu di daerah menjadi lembaga yang bersifat permanen sehingga akan memiliki keleluasaan dalam menyelenggarakan pilkada. 

Misalnya saja, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya terkait dengan tata kelola keuangan negara, lembaga ad hoc tidak boleh mengelola keuangan sendiri. Ini tentu akan menghambat dan menganggu proses pelaksanaan pemilu dan juga pemilihan kepala daerah. Selain itu KPU Kabupaten/Kota selama ini sudah memiliki satuan kerja yang bersifat parmenen (perangkat pegawai kesekretariatan organik). 

"Karena itu, sudah waktunya KPU Kabupaten atau Kota dijadikan lembaga permanen," demikian saran Muhammadiyah.

Masih terkait RUU Pemilu, PP Muhammadiyah juga sangat berharap agar DPR bersama-sama pemerintah dapat menyusun UU Pemilu yang tidak bersifat sekali pakai. 

"Dengan demikian kita memiliki undang-undang yang benar-benar mewakili kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan partai politik," tegasnya.

Selian itu itu Muhammadiyah juga menyoroti bahwa Parliamentary threshold sebagai upaya penyederhanaan parpol masih belum efektif, bahkan bisa menghilangkan suara rakyat. Perbaikan ke depan bisa dilakukan dengan penerapan ambang batas parlemen nol persen. 

"Penerapan ambang batas yang tinggi tidak serta merta menyederhanakan partai politik. Yang diperlukan adalah pengaturan ambang  batas pembentukan fraksi di DPR," demikian masukan Pengurus Pusat Muhammadiyah terhadap pembahasan RUU Pemilu.