Indonesia dan Investasi Energi Hijau

Indonesia dan Investasi Energi Hijau
Ilustrasi instalasi Energi Surya/ net

MONITORDAY.COM - Indonesia membutuhkan investasi sebanyak 167 miliar AS untuk pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dengan membangun 56 GW tambahan pembangkit energi hijau. Energi terbarukan adalah sumber energi yang cepat dipulihkan kembali secara alami, dan prosesnya berkelanjutan. Energi terbarukan dihasilkan dari sumberdaya energi yang secara alami tidak akan habis bahkan berkelanjutan jika dikelola dengan baik.

Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam menegaskan bahwa tahun 2021 ini pemerintah menargetkan investasi pada sektor energi hijau senilai 2,05 miliar AS, lebih tinggi dibandingkan capaian investasi pada 2020 yang berjumlah 1,36 miliar AS.

Berdasarkan kajian Bappenas, ada enam jenis EBT yang tersedia dan telah dikembangkan secara komersil di Indonesia, yakni surya, angin, panas bumi, dan bioenergi. Selain itu, ada energi potensial yang belum dikembangkan seperti gelombang air laut dan hidrogen.

Masih menurut Medrilzam total potensi EBT untuk pembangkitan listrik yang ada di Indonesia diperkirakan berada di angka 419 GW. Dari total potensi tersebut, hampir setengahnya adalah potensi dari energi surya sebesar 207 GW disusul dengan air 75 GW, dan angin 60 GW. 

Indonesia memiliki dua target besar yaitu target bauran energi hijau sebesar 23 persen tahun 2025 melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan target penurunan emisi sebesar 29 persen dari baseline di tahun 2030 sesuai Paris Agreement.

Bauran energi saat ini berada di angka 11,5 persen dari target sebesar 23 persen. Sebagai upaya mencapai target tersebut, dilakukan banyak dorongan kepada pengembangan EBT, baik dalam bentuk peraturan, stimulus, maupun insentif. 

Sementara Wartsila Energy menyatakan Indonesia memerlukan lebih dari 92 gigawatt daya fleksibel untuk mencapai pemanfaatan 100 persen energi terbarukan yang hemat biaya. Demikian menurut hasil riset perusahaan teknologi dan sektor energi asal Finlandia tesebut. 

Director Australasia Wartsila Energy, Kari Punnonen menyatakan bahwa 92,6 gigawatt (GW) aset fleksibel diperlukan agar sistem energi Indonesia dapat berjalan menggunakan 100 persen energi terbarukan dengan biaya yang rendah.

Pertumbuhan kebutuhan yang signifikan dalam meningkatkan fleksibilitas daya di Indonesia, dalam bentuk penyimpanan energi dan teknologi gas fleksibel, untuk memungkinkan masa depan terwujud dengan 100 persen energi terbarukan.

Kapasitas yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan peralihan Indonesia ke jaringan listrik yang diberdayakan oleh energi terbarukan harus berasal dari dua teknologi utama, yaitu sistem penyimpanan energi berkapasitas lebih dari 82 GW, serta tenaga gas fleksibel berkapasitas lebih dari 10 GW yang mampu beroperasi dengan bahan bakar nabati (BBN) dan bahan bakar masa depan.

Menurut Kari Punnonen, laporan iklim PBB di bulan lalu (Maret) memberikan pesan yang jelas bagi Indonesia, untuk dekarbonisasi dengan biaya yang rendah, tingkat energi terbarukan yang tinggi harus ditingkatkan per 2030. 

Dengan memberikan porsi yang besar terhadap energi terbarukan dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk memproduksi bahan bakar masa depan yang netral karbon yang menghilangkan karbon dari semua sektor yang menggunakan energi secara intensif, dari tenaga listrik hingga mobilitas.