Hati-Hati Berulang Kali Haji dan Umrah, Bisa Jadi Dosa

Hati-Hati Berulang Kali Haji dan Umrah, Bisa Jadi Dosa
Ilustrasi (Foto: Shutterstock)

MONITORDAY.COM - Tidak ada umat Islam yang tidak ingin mengunjungi Baitullah, memandangnya secara langsung, berdoa di hadapannya dan di beberapa titik maqam ijabah. Secara spiritual, berdoa di depan Baitullah memang sangat berbeda, dimana hati terasa lebih syahdu, kalbu terasa terpaut utuh dengan Dzat Sang Pemilik Baitullah.

Karena itu, saat berdoa, thawaf atau shalat di depan Baitullah, air mata tak akan terasa berderai membasahi pipi kita, menyadari kelemahan dan kotornya diri. Hati kita akan tertuju pada Dzat Yang Maha mencipta alam raya, seraya mengingat Abu al-Anbiya Ibrahim As dan Putranya (Nabi Ismail As) yang telah bekerja keras membangun kembali Baitullah, lalu diperintahkan menyeru umat manusia untuk hadir ke Baitullah, memenuhi panggilan Allah Swt.

Hati juga akan melayang mengingat perjuangan dan kesabaran Bunda Hajar yang dalam keadaan hamil tua, beliau dikirim ke sebuah lembah sepi nan tandus, tak ada satu pun tumbuhan yang bisa tumbuh di sana.

Meski demikian, beliau tidak pernah gentar dan tak pernah merasa disia-siakan oleh sang suami, sebab ia tahu bahwa sang suami tidak akan melakukan hal tersebut kecuali atas perintah Allah Swt; dan Allah Swt tidak akan pernah menyia-nyiakan atau mencelakakan hamba-hamba-Nya.

Di sana juga kita akan terbayang, sebuah drama nyata yang diambil dari sebuah kisah nyata, dimana Allah Swt sebagai penulis skenarionya. Drama itu mempertontonkan perjuangan dan keluarga Ibrahim As pada Allah Swt. Drama tersebut berakhir dengan sebuah kemanangan iman menghadapi godaan syetan.

Lebih dekat lagi, saat berada di Baitullah, pikiran kita akan melayang kepada kisah perjalanan dakwah Rasulullah di Kota Mekah, dimana beliau berhadapan dengan orang-orang yang awalnya mempercayai beliau Saw sebagai manusia tanpa cela dan tanpa dusta, hingga dijuluki sebagai Al-Amin.

Namun akhirnya mereka berubah menjadi orang yang sangat membenci dan memusuhinya ketika beliau Saw mendeklarasikan bahwa beliau telah menerima wahyu dan diangkat menjadi seorang Rasul Allah, penutup risalah kenabian di sepanjang sejarah manusia.

Saat itu, kekaguman penduduk Mekah kepada Rasulullah Saw berubah menjadi kebencian. Tidak ada yang terlintas dalam hati dan pikiran kaum kafir Mekah saat itu, kecuali mencari cara untuk menghabisi beliau Saw.

Di Mekah pula, banyak jejak sejarah yang dapat mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah Saw dalam mengemban risalah, menyampaikan petunjuk untuk semua manusia.

Selain merindukan kota Mekah, semua umat Islam pasti merindukan juga Kota Madinah, tempat Rasulullah Saw membangun peradaban yang sangat maju dan berperikemanusiaan.

Di sana pula beliau menghembuskan nafas terakhir, di pangkuan istrinya tercinta, Siti ‘Aisyah Ra. Di sekitar kota Madinah, kita dapat menyaksikan berbagai jejak sejarah perjuangan Rasulullah Saw saat berdakwah.

Salah satu jejak tersebut adalah makam Syuhada Uhud.  Di sanalah Rasulullah Saw memberikan pelajaran bahwa umat Islam harus hidup terorganisir, taat pada pimpinan dan tidak tertipu kilauan kenikmatan duniawi yang fana.

Di sana pula, banyak sahabat senior Rasulullah Saw yang gugur dalam rengkuhan dua kalimah Syahadat, yang mereka tebus dengan darah dan nyawa.

Salah satunya adalah paman Rasulullah Saw yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Beliau dijuluki Rasulullah Saw dengan "Asadullah" atau Singa Allah.

Untuk menghormati peran dan kesyahidannya di Perang Uhud, Rasulullah Saw menyebutnya dengan "Sayid al-Syuhada" atau pemimpin orang-orang yang gugur di medan jihad fi sabilillah. Sungguh perang Uhud tersebut sangat mengiris hati Rasulullah Saw, terutama dengan meninggalnya Hamzah Ra.

Demikianlah sedikit di antara ribuan memori ingatan yang dapat kita hadirkan saat berada di dua Tanah Haram. Semuanya muncul dalam ingatan kita karena ia sudah lama menggumpal dalam perasaan kita, hingga membawa kita senantiasa merindu untuk dapat mengunjungi tempat-tempat itu.

Rasa rindu tersebut sangat alami dan manusiawi. Maka beruntunglah mereka yang mendapatkan anugerah dari Allah Swt berupa kecukupan harta untuk dapat menziarahi tempat-tempat tersebut melalui ibadah haji atau Umrah, dimana selama melaksanakan ibadah tersebut, ia dapat menumpahkan rasa rindu yang bergelora di dada setiap muslim, rindu terhadap Baitullah dan segala sesuatu tentang Rasulullah Saw.

Sebagian orang yang mendapatkan kelebihan rizki tersebut, dengan leluasa dapat haji atau umrah berapa kalipun sesuai dengan keinginanya. Alasannya hanya satu: rindu pada BBaitullah

Atas alasan ini, ia pun berulang-ulang melakukan ibadah haji dan umrah dengan menghabiskan dana yang tidak sedikit. Ia merasa bahwa itulah cara yang paling tepat untuk menumpahkan rasa rindu pada Baitullah dan Rasulullah Saw!

Akhirnya, ia tidak sadar bahwa perasaannya tersebut telah menjadikannya egois. Ia sibuk menghabiskan harta yang Allah titipkan padanya untuk bulak balik ke tanah haram.

Sedangkan orang-orang di sekitarnya menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat luar biasa, anak-anak yatim banyak yang terlantar dan anak-anak sekolah/santri banyak yang tak kuat membayar biaya pendidikannya.

Seharusnya orang yang diberi kelebihan harta tersebut menyadari, bahwa rindu pada Allah dan Rasul-Nya, tidak harus diungkapkan melalui Baitullah atau ziarah ke makam Rasulullah Saw.

Ia dapat juga dilakukan dengan melakukan amalan shalih lain yang dapat membawanya semakin dekat pada Allah Swt dan meneladani Rasulullah Saw.

Sebagai misal, bukankah Rasulullah menjanjikan bahwa “Aku Bersama orang yang membantu anak yatim seperti dua jari ini di surga kelak.” Tidakkah hal ini menjadikan kita lebih termotivasi untuk menggerakkan diri agar dapat berjumpa dengan Allah melalui amal sosial?

Jangan lupa, ada sekelompok orang yang mendirikan shalat, tapi ia disebut sebagai orang yang celaka dan akan masuk Neraka Wail.

Mengapa?“ Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat ria dan enggan (memberikan) bantuan.” (QS. Al-Maun: 5-7).

Jika orang yang mendirikan shalat saja bisa disebut sebagai orang yang celaka karena ia lalai dalam shalatnya, riya, serta enggan memberi bantuan.

Maka hal serupa pasti terjadi pada para hartawan yang menjadikan ibadah haji sebagai pesta ruhani pribadi, jauh dari kesadaran spiritual pada keadaan orang-orang yang di sekitarnya, maka adakah dua keadaan tersebut memiliki sifat yang sama?

Jika ibadah haji dan umrah tidak menumbuhkan kesadaran dalam hati yang dapat melahirkan solidaritas sosial, maka haji/umrah tersebut telah sia-sia dan bahkan akan melahirkan dosa.

Wallahu Alam Bi al-Shawab