Fadli Zon: DJA Bukan Pionir Puisi Esai

Puisi-puisi esai sebagaimana yang dimaksud DJA bukan lah hal yang baru lagi.

Fadli Zon: DJA Bukan Pionir Puisi Esai
Foto: Arif/Monitorday.

MONITORDAY.COM, Jakarta - Kekisruhan dunia politik menjelang Pilkada tak kalah gaduh dengan kekisruhan dunia sastra. Meski terbilang masih kalah pamor, namun polemik sastra telah berhasil mencuri perhatian publik. Khususnya dalam jagat dunia maya.

Munculnya petisi dari para penyair dan berbagai komunitas sastra yang menolak Gerakan Puisi Esai Nasional Denny JA menandakan polemik sastra berada pada titik puncaknya.

Berbagai media pun turut serta. Pemberitaan terkait penolakan atas klaim TIM 8 yang memasukkan nama DJA sebagai satu diantara 33 tokoh sastra berpengaruh kembali mencuat. Muncul lagi ke permukaan setelah sekian lama tak terdengar.

Sebagai politisi yang juga menggandrungi dunia sastra dan puisi, Wakil DPR RI, Fadli Zon pun angkat bicara soal polemik ini.

Fadli menjelaskan, untuk menjadi tokoh pembaharu dalam dunia sastra diperlukan legitimasi dari komunitas-komunitas sastra.

“Pengakuan itu yang paling penting datangnya dari komunitas. Kalau komunitas-komunitas sastra itu bisa menerima ya berarti dia (DJA)bisa diterima. Tapi kalau komunitas tidak menerima berarti dia tidak bisa diterima,” kata Fadli kepada Wartawan monitorday.com, di komplek Senayan, Jakarta, Kamis(08/02.

Seperti yang diketahui, lewat tulisan-tulisannya, DJA mengklaim dirinya telah melakukan pembaruan dalam puisi di Tanah Air. DJA menyebut puisi yang ditulisnya sebagai Puisi Esai. DJA bahkan mengklaim Puisi Esai-nya itu telah diakui dan diamini sebagai puisi dengan genre baru oleh para pengikutnya baik di Indonesia maupun di Malaysia.

Menanggapi pernyataan tersebut, Fadli yang pernah menjadi redaktur di Majalah Sastra Horison ini, turut mengkritik Puisi Esai yang diklaim DJA.

Fadli mengatakan, puisi-puisi esai sebagaimana yang dimaksud DJA bukan lah hal yang baru lagi.

“Kalau kita baca puisinya Rendra saja yang judulnya Nyanyian Untuk Jakarta, Blus Untuk Joni, itu kan puisi-puisi esai yang sudah ada. Dari tahun 60 an awal itu sudah ada. Dan itu bukan hal yang baru,” ujar Fadli.

Lebih lanjut, Fadli meminta DJA untuk menguburkan cita-cita menjadi tokoh sastra paling berpengaruh hanya karena Puisi Esai.

“Jadi saudara DJA menurut saya sih bukan pionir dalam hal ini. Udah banyak dari penyair-penyair terdahulu buat seperti itu. Apalagi Rendra yang paling banyak memotret satu situasi sosial di dalam puisinya yang cukup panjang dan dengan drama yang cukup menarik,” imbuhnya.

Meski demikian, Fadli tidak mempersoalkan cara DJA yang dituding oleh banyak pihak telah melakukan politik transaksional dalam puisi. Terlebih memberikan bayaran yang menggiurkan kepada mereka yang bersedia menuliskan Puisi Esai lewat gerakan nasional.

Sebab, menurut Fadli, upaya mengkordinir para penyair di penjuru provinsi untuk menuliskan puisi bukan lah sesuatu yang melanggar hukum. Menerima tawaran dan bersedia menuliskan puisi pun, lanjut Fadli, juga bukan perbuatan melanggar hukum.

”Kalau orang yang bersangkutan mau ya gak ada masalah. Itu kan bukan sesuatu perbuatan yang melanggar hukum. Sah-sah saja sih menurut saya. Sepanjang diterima oleh komunitas” tandas Fadli