Dua Calon Doktor Di AS Paparkan Hasil Riset Tentang Indonesia

Dua Calon Doktor Di AS Paparkan Hasil Riset Tentang Indonesia
Lambang Atdikbud USA dan Kedubes Indonesia di AS

MONITORDAY.COM - Dua mahasiswa Indonesia yang sedang menyelesaikan pendidikan di bidang ekonomi di Amerika Serikat berkesempatan memaparkan riset terbaru mereka pada Webinar Bianka (Bincang Karya) ke-19.
 
Simon P. Hutabarat, kandidat doktor dari College of Liberal Arts, Economic Department, Colorado State University berkesempatan membagikan materi mengenai ekonomi lingkungan yang merupakan cabang ekonomi makro. Secara spesifik, ia mengangkat diskusi mengenai penggunaan energi bersih. Menurut Simon, banyak insinyur, fisikawan, ahli biologi atau ahli statistik yang tertarik menggunakan ilmu ekonomi untuk menganalisis atau menguantifikasi ilmu-ilmu lainnya di luar ekonomi. “Sehingga, cabang ilmu ini sangat bermanfaat,” terang Simon pada Selasa, (16/11).
 
Simon, penerima beasiswa LPDP Program Doktoral, memaparkan bagaimana perjalanan Amerika Serikat dan Indonesia dalam usaha menciptakan energi bersih.
 
“Di Amerika sendiri, ada program Presiden Biden yang bernama Green New Deal: Build, Back, Better. Ada beberapa kerangka kerja dalam program ini, yakni: bebas karbon di tahun 2035, menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi biaya energi, pengurangan emisi karbondioksida sektor kehutanan dan pertanian, serta adanya inovasi teknologi untuk mencapai bebas emisi karbon,” jelas Simon.
 
Indonesia, dijelaskan Simon, memiliki beberapa kerangka kerja yang ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya bebas emisi yang dimulai dengan penerbitan kepres tentang energi terbarukan. “Langkah tersebut diikuti dengan adanya penggunaan kompor listrik, adanya smart grid dan smart meter, stop impor LPG, pemberian akses gas, adanya mobil listrik dan lain sebagainya,” tambah Simon.
 
Simon, saat ini, tengah menyelesaikan risetnya tentang energi bersih yang mempertimbangkan dampak subsidi pemerintah terkait investasi bidang pembangkit tenaga surya. “Saya menggunakan metodologi bagaimana memodelkan energy demand, bagaimana fossil fuel beralih ke energi terbarukan, dengan menggunakan salah satu metode investasi,” tutur Simon. 
 
Dirinya menegaskan, “Sekali menggunakan energi terbarukan, maka kita tidak dapat kembali ke bahan bakar fosil. Karena bila tidak dapat dikembalikan, maknanya adalah investasi tersebut akan hangus, padahal investasi bertujuan untuk menciptakan hasil.”
 
“Implikasi kebijakan yang saya harapkan adalah bagaimana peningkatan subsidi pemerintah bisa mengurangi harga investasi energi terbarukan,” terang Simon yang juga mengabdi sebagai Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
 
Allen Hardhiman, Penerima Beasiswa Program Doktor dari University of Illinois at Urbana-Champaign, menampilkan riset yang dilakukan bersama dengan dua orang mahasiswa lain dan pembimbingnya. “Riset saya berfokus pada bagaimana tren pendapatan di pasar tenaga kerja antara seorang ayah dan seorang ibu, ketika ibu tersebut hamil dan mempunyai anak,” jelas Allen.
 
Dituturkan Allen, di Amerika Serikat sendiri masih ada ketimpangan pendapatan antara Ibu yang sudah menikah dan mempunyai anak dengan pendapatan Ayah. “Padahal, justru ketika sudah punya anak, pengeluaran kaum ibu justru lebih banyak dari sebelumnya,” terang Allen.
 
Hasil riset Allen menunjukkan bahwa di negara-negara maju (yang disebut juga core countries), ada perbedaan employment rate (tingkat serapan tenaga kerja) antara ayah dan ibu setelah anak lahir. Sementara di negara-negara yang sedang mengejar kemajuan (catch-up countries), kesenjangan tersebut terlihat lebih signifikan. “Artinya, kebanyakan dari ibu di negara tersebut berhenti kerja setelah anak lahir,” imbuh Allen.
 
Allen menegaskan, dengan kata lain, hasil risetnya menunjukkan bahwa di negara-negara yang berada di Benua Eropa, rata-rata ada perbedaan tingkat penyerapan tenaga kerja antara ayah dan ibu setelah anak lahir. “Kebanyakan dari ibu berhenti bekerja setelah anak lahir. Namun, terdapat heterogenitas dalam penurunan employment rate terhadap ibu yang tergantung dari kelompok negara,” jelas Allen.
 
Daftar negara yang masuk ke dalam kategori core-countries (negara-negara yang memiliki GDP tinggi per kapita dan tingkat pengangguran rendah) adalah: Jerman, Prancis, Austria, Belgia, Swedia, Italia dan Belanda. Sedangkan, negara yang masuk dalam kategori catch-up countries (tingkat upah dan rendah GDP per kapita rendah) adalah: Hungaria, Estonia, Lithuania, dan Ceko.
 
Dari segi penalti, kandidat doctor dari College of Liberal Arts and Sciences, University of Illinois, Urbana Champaign (UIUC) ini menuturkan, core countries menunjukkan kompensasi yang tinggi yakni lebih dari 100% sementara di catch-up countries menunjukkan angka 70%. “Dilihat dari lamanya cuti hamil, core countries memberikan waktu cuti hamil yang lebih panjang dibanding catch-up countries,” terang Allen.
 
Ditambahkan Allen, “Jadi kita menemukan kalau ada penalti pekerjaan yang besar untuk seorang ibu. Paling besar adalah di negara Eropa yang termasuk dalam catch-up countries. Penalti ini lebih kecil dengan kompensasi murah hati. Jadi, cuti hamil memberikan kompensasi gaji yang besar tapi penalti ini lebih besar untuk cuti hamil yang lama. Dan seperti yang tadi saya bilang tidak ada efek terhadap jam bekerja, conditional working. Dan tidak ada penurunan pendapatan ibu karena diganti dengan pendapatan dari benefit,” tambah Allen.