Dosen PAUD UMC Ungkap 3 Dimensi Penting Telisik Dinamika Bangsa

MONITORDAY.COM - Indonesia di awal tahun 2021 ini, dihadapkan dengan deretan bencana. Mulai dari tanah longsor, gempa, banjir, jatuhnya pesawat hingga pandemi yang belum melandai. Begitupun dengan tantangan berupa dinamika sosial, ekonomi, politik hingga lain sebagainya.
Terkadang ragam pertanyaan seperti "apa,mengapa, bagaimana” terbesit dalam hati, kenapa semua ini bisa terjadi. Namun ada baiknya berprasangka baik kepada Yang Maha Kuasa perihal datangnya bencana.
"Kita seyogyanya melihat turbulensi ini dengan perspective sebab dan akibat. Kemudian timbul ragam pertanyaan tentang musibah ini, namun ada hal paling penting unntuk memaknai ragam problematika ini dengan memiliki pandangan positif bahwa setiap musibah, pasti ada hikmah dan kebaikan. Inilah cara Yang Maha Kuasa memberikan pelajaran berharga dengan anomali yang terjadi" ujar Dosen PAUD FKIP Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC), Muhammad Azka Maulana kepada Monitorday.com, Senin (8/2/2021).
Akademisi UMC yang sering disapa Azka ini mengungkapkan bahwasanya ada 3 dimensi penting untuk menelisik ragam peristiwa alam, dinamika bangsa dan keumatan saat ini.
I am
Pertama adalah I am yang artinya memahami makna diri sebagai manusia secara personal dan warga negara dengan ragam elemen didalamnya. Manusia Indonesia harus sadar, jikalau negeri yang ditempati ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, aneka ragam hayati dan kemolekan alam yang terbentang dari sabang hingga merauke yang tiada duanya.
Namun, setiap kenikmatan yang diberikan untuk negeri tercinta tidak lepas dari ujian. Al-Qur'an Surrah Al-Ankabut ayat 2 menjelaskan, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan: “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?”.
Di antara cara Allah untuk membuktikan keimanan seseorang adalah dengan menghadirkan ujian kepadanya. Ya, ujian adalah salah satu cara untuk mengukur kadar keimanan seseorang.
Sebagai bentuk ikhtiar menghadapi ujian pandemi yang melanda negeri, Pemerintah pun berupaya menguatkan ketahanan nasional dengan aggaran Rp. 104,2 T, angka yang fantastis untuk mampu bertahan dan bisa melewati masa-masa sulit ini.
"Rapat RAPBN 2021, presiden Jokowi menyebutkan bahwa pemerintah menganggarkan Rp. 104,2 T untuk berbagai kebijakan seperti ketahanan pangan, kesehatan dan agenda penting lainnya di masa pandemi ini," jelas Azka.
I have
Kekuatan anggaran saja tdak cukup, maka sikap kedua adalah I have yang memiliki makna filosofis. Sebuah pemaknaan personal secara horizontal antara manusia dan Yang Maha Kuasa.
Konteks ini, bukan hanya pada hubungan spritual biasa, tapi keyakinan manunggal bahwa hanya Dia, Allah Ta'la yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Cukuplah Allah yang menjadi penolong bukan bergantung pada lainnya.
" Tanamkan dalam diri bahwa I have only Allah Ta'la, God almighty. Penghambaan diri kepada Allah Azza wa Jalla semata-mata dan tiada sekutu bagi-Nya, memurnikan kecintaan, keikhlasan, ketakutan, pengharapan dan pelindung satu-satunya, serta tidak menjadikan tandingan bagi-Nya dengan segala sesuatu," ungkap Azka.
Selanjutnya, mindset yang perlu dibangun adalah memahami tujuan penciptaan manusia, tidak lain adalah sebagai khalifah di planet bumi ini. Hal tersebut telah dinyatakan dalam firman Allah :
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (QS. Al-Baqarah: 30).
Azka juga mengutip Hadits Riwayat ath-Thabrani, Al-Mu’jam al-Ausath, juz VII, hal. 58, dari Jabir bin Abdullah r.a yang dishahihkan Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitab: As-Silsilah Ash-Shahîhah) bahwa “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Hadits ini menuntun setiap orang untuk bermanfaat bagi yag lain dimanapun berada. Bahkan, membuat orang lain menjadi gembira juga termasuk amalan bermanfaat yang dicintai oleh Allah SWT.
Lalu untuk mendapatkan manfaat dari setiap pemberian kepada orang lain, rasa Ikhlas adalah kuncinya.
"Niatkan, bahwa apa yang kita lakukan hanya karena Allah, bukan karena ingin disebut pribadi yang bermanfaat (pujian). Penyakit riyâ’ sungguh tidak terlihat, sangat samar, sehingga kita harus hati-hati," pesan Azka.
Samahalnya sebagai warga negara yang baik, Azka mengutip pernyataan mendiang Presiden Amerika Serikat, John F Kenedy "Ask Not What Your Country Can Do for You, Ask What You Can Do for Your Country".
Statement Kenedy ini perlu diselami lebih dalam bahwa "Jangan tanyakan apa yang dapat negara berikan untuk untukmu, tapi tanyakan apa yang dapat kamu berikan untuk negara".
Pertanyaan sederhana kembali terbesit dibenak, apa yang sudah dilakukan untuk negeri tercinta yang sudah berusia 75 tahun merdeka. Bahkan, tahun 2021 ini, usia kemerdekaan Indonesia memasuki 76 tahun.
"Apapun profesi kita, Jangan pernah bosan berbuat dan bermanfaat bagi orang lain, apalagi untuk bangsa," tutur Azka.
Karenanya, Azka mengimbau kepada segenap elemen bangsa agar berkarya dan berdaya untuk negeri, ketimbang memberikan tanggapan miris. Terlebih, tekhnologi digital begitu mudah dijumpai dan memberikan ragam kemudahan.
Seringkali banyak diantara mereka yang memanfaatkan kanal digital untuk menyebarkan informasi hoax, memfitnah dan membangun narasi tak produktif, saatnya bijak dan cerdas memanfaatkan tekhnologi digital untuk kemaslahatan umat dan bangsa.
I can
Dan yang ketiga adalah I Can atau "saya bisa" yang merupakan dimensi penting dalam menentukan keberlangsungan hidup manusia. Untuk mencapai pada tingkatan "saya bisa", rasa optimis perlu digelorakan setiap saat, karena bisa membimbing setiap pribadi untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik.
Optimisme tidaklah kepercayaan buta, melainkan takaran dalam diri terhadap outcome dari sebuah situasi.
Komposisinya terdiri dari seberapa tinggi penilaian diri terhadap nilai dan kemampuan personal, kemudian seberapa mampu bisa menguasai dan mengatasi masalah tersebut.
Faktanya, rasa optimis ini berimplikasi baik terhadap kesehatan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Rozanski, Bavishi, dan Kubzansky, tahun 2019 menemukan menjelaskan tingkat optimisme tinggi cenderung memiliki resiko serangan jantung lebih rendah, atau sakit secara umum.
Hal senada juga disampaikan oleh Lee dan rekan-rekannya tahun 2019 juga menemukan fakta yang mencengangkan bahwa orang dengan optimisme lebih tinggi biasanya hidup lebih panjang dan sehat ketimbang yang rendah.
Bagi orang beriman, bersikap optimistis merupakan wujud keyakinan kepada Tuhannya. Apalagi, Allah mengatakan Dia adalah sebaik penolong dan pelindung.
Optimisme butuh action dan langkah nyata seorang yang ingin sukses menempuh studi, menuntut ilmu atau dalam pekerjaan, perlu belajar sungguh-sungguh, bekerja keras, dan mengerahkan segala potensi yang dimilikinya.
"Hidup ini hakikatnya adalah belajar, beramal dan bersabar serta mengiringi semua yang kita lakukan dengan penuh optimisme, Allah akan memberikan kita yang terbaik sesuai takdirnya. Yakinlah setelah kesulitan ada kemudahan," tutur Azka.
Ketiga dimensi tadi akan sia-sia, jika tidak diikuti dengan pengejawantahan yang konsisten dan persisten. Selain itu, percepatan pembangunan SDM unggul dan penguasaan IPTEK adalah mutlak adanya.
Sebagai penutup, Azka juga mengingatkan agar senantiasa menjaga ketahanan diri dengan sabar dan tawakal. Penyerahan diri terbaik adalah ketika segala upaya dan perjuangan telah dilakukan. Selanjutnya, Yang Maha Kuasa lah yang menentukan dan mewujudkan setiap ijtihad dari setiap hamba-hambaNYA.