DK PBB Didesak Jatuhkan Sanksi Ekonomi ke Myanmar

DK PBB Didesak Jatuhkan Sanksi Ekonomi ke Myanmar
Foto/net

MONITORDAY.COM - Amnesty International mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing dan petinggi angkatan bersenjata lainnya.

"DK-PBB juga diharapkan segera menjatuhkan embargo senjata terhadap Myanmar mengingat berbagai pelanggaran hukum internasional yang dilakukan oleh militer, termasuk di antaranya kudeta terhadap pemerintahan yang sah di Naypyitaw," kata Wakil Direktur Bidang Advokasi Amnesty International, Sherine Tadros, dalam pernyataan tertulis, Rabu (3/2/2021). Dilansir Antara.

Menurut Tadros, aksi sewenang-wenang militer di Myanmar terjadi karena adanya pembiaran dari komunitas internasional dan badan-badan dunia, termasuk DK-PBB. 

"Yang kita saksikan di Myanmar tidak terjadi tiba-tiba. Kita tidak bisa pura-pura terkejut ada seorang pelanggar HAM yang mengulangi perbuatannya, karena kita juga yang tidak bersikap tegas terhadap mereka," kata dia.

Karena itu, Tedros meminta DK-PBB segera menggelar pertemuan khusus untuk membahas situasi di Myanmar. Ia juga berharap DK-PBB mengecam kudeta militer di Myanmar dan penangkapan para pemimpin, aktivis, dan politisi di negara tersebut.

"DK-PBB juga harus meminta seluruh pihak yang ditangkap pada Senin (1/2) segera dibebaskan, jika mereka tidak menuruti permintaan itu, maka mereka seharusnya dapat dianggap melanggar hukum internasional," ungkapnya.

Sebelumnya, Militer Myanmar meluncurkan kudeta terhadap pemerintah, pada Senin (1/2/2021), dan menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, politisi dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis pro demokrasi dan HAM di Myanmar.

Hingga saat ini, belum ada pengumuman resmi berapa jumlah orang yang ditangkap dan ditahan oleh tentara, tetapi kemungkinan ada lebih dari 30 orang.

Tidak lama setelah kudeta, militer menetapkan status darurat yang berlaku selama satu tahun. Selama status darurat berlaku, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing.

Militer Myanmar mengatakan, tatus darurat ditetapkan untuk mencegah perpecahan antarkelompok masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 417 Konstitusi Negara 2018. Menurut otoritas militer, pemerintah gagal menyelesaikan sengketa daftar pemilih pada pemilihan umum 8 November 2020.

Meski demikian, klaim tersebut ditolak oleh sejumlah aktivis HAM dan demokrasi di Myanmar. Menurut kelompok itu, kudeta merupakan salah satu cara Jenderal Min Aung Hlaing mempertahankan kekuasaannya lima bulan sebelum ia resmi pensiun pada Juli 2021.