Di Tengah Pandemi Covid-19, DPR Minta Pemerintah Jaga Stabilitas Nilai Tukar Rupiah

Sebelumnya, kurs rupiah mengalami tekanan seiring merebaknya pandemi Covid-19 yang memicu kepanikan investor, sehingga mendorong capital outflows dan pengetatan USD di pasar global.

Di Tengah Pandemi Covid-19, DPR Minta Pemerintah Jaga Stabilitas Nilai Tukar Rupiah
Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Anetta Komarudin/ Dok. DPR

MONITORDAY. COM - Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Anetta Komarudin menganjurkan pemerintah untuk dapat menstabilkan penguatan kurs rupiah, sehingga bergerak ke arah fundamentalnya.

“Sebelumnya, kurs rupiah mengalami tekanan seiring merebaknya pandemi Covid-19 yang memicu kepanikan investor, sehingga mendorong capital outflows dan pengetatan USD di pasar global,” kata Puteri dalam keterangannya, Sabtu (02/05/2020).

Lebih lanjut, Puteri menilai selama ini pergerakan nilai rupiah cenderung undervalue. Pasalnya, pada kuartal pertama defisit transaksi perdagangan masih lebih rendah dibandingkan perkiraan yaitu 1,5% dari 2,5-3% terhadap PDB.

“Namun, saat ini kurs rupiah terus menguat ke arah fundamental value yang disebabkan perbedaan imbal hasil (yield)yang cukup tinggi, baik dalam maupun luar negeri, sehingga memicu inflows”, jelas.

Menurut Puteri, penguatan kurs rupiah sangat berpengaruh dari upaya Pemerintah maupun otoritas terkait seperti BI, OJK, dan LPS dalam merumuskan operasi moneter dan fiskal.

Puteri menambahkan, selama periode Januari-April, BI telah melakukan kebijakan quantitative easing (QE) atau pelonggaran makro prudensial dengan injeksi likuiditas perbankan sebesar Rp 386 triliun. Menurutnya, BI juga akan kembali melakukan quantitative easing sebesar Rp 117,8 triliun pada awal bulan ini.

Selain itu, Puteri menyoroti Perlu kebijakan quantitative easing berbeda dengan mencetak uang. 

Quantitative easing yakni kaidah kebijakan moneter yang dijalankan apabila kondisi likuiditas perbankan menurun, sehingga diperlukan penambahan likuiditas. Kemudian, penambahan dilakukan melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), term repo perbankan, serta pembelian SBN di pasar sekunder.

Selanjutnya, mencetak uang merupakan ketika bank sentral menambah uang yang beredar namun tidak dapat diserap. Misalnya, ketika bank sentral mengedarkan uang dengan membeli surat utang pemerintah yang tidak tradable dan suku bunganya mendekati 0%, sehingga dapat menimbulkan inflasi yang signifikan.

“Saya mengapresiasi intervensi Bank Indonesia melalui kebijakan quantitative easing dengan total mencapai Rp 503,8 triliun untuk mengurangi ketatnya dolar di pasar, sehingga dapat membantu stabilisasi nilai tukar rupiah,” ujar Puteri.

Namun, operasi moneter ini juga harus didukung dengan kebijakan fiskal oleh pemerintah, maupun kebijakan sektor keuangan dari OJK dan LPS.

“Untuk itu, masing-masing entitas harus memiliki kesepahaman yang sama atas kebijakan pelonggaran tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan

terus memperkuat bauran kebijakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar dan pemulihan ekonomi,” tambah Puteri.

Sebelumnya, pemerintah telah mengumumkan paket stimulus fiskal untuk perlindungan dan pemulihan ekonomi bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang terdampak Covid-19.

Adapun, kebijakan tersebut diantaranya terdiri atas insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi kredit, hingga perluasan pembiayaan modal kerja.

“Jika intervensi BI adalah dengan mendukung likuiditas perbankan, maka peran pemerintah adalah melalui pelonggaran aspek fiskal yang bertujuan untuk menggerakkan sektor riil,” lanjut Puteri.

“Stimulus fiskal ini diharapkan dapat menjadi sentimen positif bagi investor untuk mulai berinvestasi ke pasar domestik sehingga kembali memicu capital inflows,” tutup Putkom.

Diketahui, Nilai tukar (kurs) rupiah pada Kamis (30/4) ditutup menguat 2,7% menjadi Rp 14.882 per USD dari sebelumnya Rp 15.295 per USD.

Kurs rupiah sempat mengalami depresiasi cukup dalam hingga di atas Rp 16.620 per USD pada pertengahan Maret lalu, seiring eskalasi wabah pandemi Covid-19 di Indonesia.