Debat Panas Pemindahan Ibu Kota Negara, Pembiayaan APBN Diperlukan

Debat Panas Pemindahan Ibu Kota Negara, Pembiayaan APBN Diperlukan
Design Visual Ibu Kota Negara Baru

MONITORDAY.COM -

Talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dipandu oleh Karni Ilyas lagi-lagi membuat sensasi dengan membuat kembali tayangan panas. Ihwal Undang-undang Ibu Kota Negara yang baru saja diketuk oleh DPR. Momen ini dimanfaatkan oleh ILC dengan mempertemukan dua kutub yang berlawanan. 

Di sisi penentang UU IKN, ILC menghadirkan narasumber Achmad Hidayat, Inisiator petisi tolak UU IKN, Marwan Batubara selaku Pengaju Judicial Review ke MK, lalu Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar.

Sementara dari kubu pendukung dihadiri oleh Arya Sinulingga Juru Bicara BUMN lalu Rawanda Wandy Tuturoong yang bertindak sebagai Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan, dan Politikus PDI-P, Deddy Sitorus.

Debat panas ini awalnya berjalan santai dengan paparan-paparan yang dikemukakan oleh masing-masing kubu. Namun menjelang sesi-sesi akhir dua kubu langsung injak pedal gas. Sahut-sahutan pun terjadi.

Awalnya paparan mengenai pemindahan ibukota negara ini mengemukakan beberapa substansi yang ditinjau dari pelbagai aspek, baik dari sisi ketentuan hukum, sosial, budaya, antropologis, dan tentu saja yang terpenting adalah aspek ekonomi.

Dari aspek ekonomi, Juru Bicara BUMN, Arya Sinulingga menyinggung pemindahan ini penting untuk dilakukan mengingat ketimpangan yang terjadi antara jawa dan luar jawa yang terjadi selama puluhan tahun. Padahal sumber daya alam Kalimantan terus dikeruk untuk membiayai pembangunan di seluruh Indonesia. Arya katakan inilah momentum untuk mengubah arah bandul, tidak lagi memakai kacamata Jakarta.

Suara Arya meninggi ketika menanggapi pernyataan Achmad Hidayat yang mengatakan momentum pemindahan ibukota belum tepat dilakukan saat ini sebab masih dalam tahap pemulihan ekonomi akibat pandemi. Kendati begitu, Achmad Hidayat yang mengklaim mewakili unsur akademisi dan kaum intelektual sepakat pemindahan ibukota perlu dilakukan di waktu mendatang.

Achmad Hidayat yang membuat petisi penolakan terhadap UU IKN juga menyoroti kurangnya partisipasi publik. Produk undang-undang ini terbilang cepat diketuk oleh pansus DPR. Achamd katakan UU IKN tidak melalui rangkaian demokrasi yang benar karena proses pansus sampai paripurna yang singkat itu.

Hal ini kemudian dibantah oleh Staf Ahli KSP Rawanda Wandy Tuturoong proses UU IKN itu tidak terburu-buru karena Presiden telah mengumumkan pemindahan ibukota pada 26 Agustus 2019 di periode kedua pelantikannya sebagai Presiden.

Rawanda juga kemukakan Bappenas sudah lama bekerja dengan membuat sebanyak 9 Kelompok Kerja (Pokja) guna melakukan kajian, ke mana ibukota baru negara akan ditempatkan. Sementara ditinjau dari aspek hukum, Undang-undang IKN di DPR yang dipimpin oleh Zainudin Amali sudah membicarakan hal ini jauh-jauh hari, jadi secara substansi sudah benar.

Marwan Batubara, Pengaju Judicial Riview UU IKN ke Mahkamah Konstitusi berpendapat secara formil dan materiil, produk undang-undang ini cacad, dia dengan mengenyampingkan proses yang ada. Argumentasinya lagi-lagi soal kurangnya partisipasi masyarakat.

Politikus PDIP, Deddy Sitorus yang sama-sama keturunan Batak dengan Marwan lantas membantah pernyataan tersebut. Dirinya sebagai wakil rakyat telah menerima aspirasi masyarakat, baik dari warga di Penajam Paser Utara, lokasi Ibukota baru maupun warga di sekitar IKN, Samarinda dan Balikpapan.

Tidak hanya itu, Deddy juga mengatakan telah mengadakan dialog bersama mahasiswa, masyakarat dari berbagai suku di Kalimantan dan lainnya. Masyarakat hanya meminta untuk dilibatkan secara proaktif dalam upaya pembangunan supaya tidak teralienasi. Namun, secara umum mereka mendukung proses pemindahan ibukota ini.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar, menilai korespondensi publik kurang karena banyak yang baru tahu proyek IKN ini. Namun, yang dia soroti adalah kurangnya feasibility Study berkaca pada proyek-proyek strategis nasional yang dia nilai gagal seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung, maupun Bandara Kertajati. 

Akant tetapi, Haris Azhar katakan tidak ingin mengugurkan ide IKN. Soal pembiayaan dirinya mengaku pro kepada APBN. Sebab idealnya penyediaan sarana struktur itu dari pemerintah. Apakah kemudian dimanfaatkan oleh berbagai pihak itu lain soal.

Haris justru ingin mempermasalahkan jika pembiayaan ibukota ini berlaku sebaliknya yaitu memakai skema investasi swasta. Investasi oleh swasta dalam hukum memang boleh, tapi dari sisi integritas di mata publik jadi rendah.

Debat kemudian menjadi panas memasuki interval akhir, mungkin beberapa narasumber sudah lelah, atau memang ILC perlu mengintensifkan arena debat demi atensi publik. Bang Karni sebagai MC dan moderator tidak lagi mengajak pemirsa untuk rehat sejenak. Dan sanggahan demi sanggahan terjadi.

Lucunya, Arya Sinulingga membantah argumentasi Marwan Batubara yang tidak mendukung pemindahan ibukota. Dikatakan Arya, Marwan Batubara lupa kalau dirinya adalah anak rantau yang mencari peluang hidup lebih baik di Jakarta. Ibukota negara, yang sudah amat timpang pembangunannya dibandingkan dengan daerah-daerah di luar Jawa.

Debat antara Deddy Sitorus dan Achmad Hidayat juga tidak kalah sengit. Achmad menyinggung pemerintah tidak sensitif dengan keadaan yang ada, hendaknya dengan uang yang ada pemerintah lebih mendahulukan program pembangunan yang sangat korelatif dengan warga.

Deddy lantas membantah, soal anggaran ini adalah proyek jangka panjang yang baru akan selesai di tahun 2045. Tidak akan terjadi hanya dalam satu waktu. Lagipula masih ada sisa anggaran penanganan covid yang akan direlokasi dan direfocussing. Maka, soal anggaran tidak jadi masalah, toh, sudah dipikirkan masak-masak oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Dari acara ILC ini sebetulnya dapat ditarik kesimpulan banyak pihak yang merasa pada awalnya ide pembangunan dengan frame Jakarta sebagai Ibukota sudah terlebih dahulu berjalan. Walaupun Jakarta sebagai sebuah kota sudah memiliki beban yang berat di tengah ancaman kerusakan iklim, dan tenggelamnya Jakarta di kemudian hari.

Sejatinya dua kutub berlawanan ini, tanpa maksud menyederhanakan, adalah pertentangan antara dua pihak yang berpikiran jangka pendek dan yang berpikiran jauh ke depan. Soal masa depan Indonesia ke depan.