Belajar Demokrasi Dari Nabi Ibrahim Alaihis Salam

Belajar Demokrasi Dari Nabi Ibrahim Alaihis Salam
Sumber gambar: istimewa

MONITORDAY.COM - Nabi Ibrahim salah satu sosok manusia kekasih Allah - Kholilulloh. “ Aku berangkat menuju Tuhanku pasti Dia akan memberi petunjuk” demikian ucapannya, setelah merasa sakit memperhatikan perilaku orang tua dan kaumnya. “Jika Aku sakit Dialah yang menyembuhkanku”. Ucapan-ucapan nabi Ibrahim ini merupakan bagian dari proses perjalanan untuk menjadi kekasih Allah SWT.

Suatu saat Ibrahim melihat bintang yang berkedip di tengah kegelapan malam. Intuisinya berkata “inilah Tuhan saya”. Ketika bintang tenggelam, pikirannya memandu “Tuhan tidak boleh tenggelam”. Di saat lain, dia melihat bulan, intuisinya berkata Inilah tuhan, cahayanya lebih terang dan ukurannya lebih besar. Anggapan Tuhan terhadap bulan lenyap ketika melihat matahari yang ukurannya lebih besar dan cahayanya lebih terang. Akhirnya intuisi yang mengatakan bulan dan matahari sebagai Tuhan lenyap oleh pikiran bahwa tuhan harus tetap hidup, tidak boleh berubah, apalagi lenyap. Tuhan bukan hanya ada, tetapi juga pencipta, dan pemelihara. Itulah Tuhan yang Haq.

Tuhan yang haq berbeda dengan Tuhan artifisial. Tuhan yang Haq:  tidak dibatasi ruang dan waktu, nyata, pencipta, pemelihara, dan kekal. Tuhan artifisial: dibatasi ruang dan waktu, virtual, diciptakan, dipelihara, dan selalu berganti. Keyakinan ini, menjadi pemantik untuk menjadi kekasih Allah dengan cara mengubah keadaan kaumnya yang selalu mengabdi kepada tuhan artifisial.

Perjalanan awal dimulai dengan menghacurkan patung-patung yang selalu di sembah kaumnya di tempat penyembahan. Patung yang berukuran kecil dihancurkan seluruhnya kecuali patung yang berukuran besar tetap dibiarkan utuh. Selesai menghancurkan patung yang berukuran kecil, alat penghancur patung kecil digantungkan pada patung yang berukuran besar yang masih utuh. Ibrahim di interogasi kaumnya. “Kamu telah menghacurkan Tuhan kami”. “Mengapa kalian menuduhku seperti itu?”, jawab Ibrahim. “Tidakah kalian lihat patung yang besar itu” ?. “Bagaimana mungkin patung itu yang menghancurkannya”, jawab kaumnya. Raja dan Kaumnya marah, Ibrahim  mendapatkan hukuman. Dilemparkanlah Ibrahim pada tungku api yang menyala. Ibrahim tetap hidup.

Perjalanan kedua dilewati melalui dialog dengan Rajanya. “Ibrahim,.. bagaimana Tuhan kamu itu?” demikian rajanya bertanya. “Tuhanku, berkuasa menghidupkan dan mematikan” jawab Ibrahim. Jika hanya sekedar itu, “Aku juga mampu menghidupkan dan mematikan”, kata Raja. Selanjutnya Ibrahim berkata: “selain menciptakan dan mematikan, Tuhanku juga menerbitkan matahari dari sebelah timur dan menenggelamkannya di sebelah barat”. Bagaimana jika Tuan mengubahnya dengan menerbitkan matahari dari barat dan menenggelamkannya di sebelah timur”. Terbelalak dan bingunglah, sang Raja, dengan pernyataan Ibrahim itu. Intelektualitas Ibrahim sungguh tangguh.

Alam fana pasti berakhir, keyakinan terhadap Tuhan yang Haq mesti tetap terpelihara. Ibrahim bermunajat: “Tuhanku anugerahkanlah kepadaku anak yang sholeh”. Hampir 80 Tahun Ibrahim menunggu kehadiran putranya. Akhirnya, datanglah kabar yang menggembirakan dari Tuhannya bahwa beliau akan mendapatkan anak yang lembut  dari istri yang kedua “ Siti Hajar”.

Kehadiran anak pertamanya dari Siti Hajar mengantarkan pada perjalanan berikutnya. Ibrahim mengungkapkan perasaaannya ketika harus meninggalkan anak dan istrinya.“Tuhanku telah kutinggalkan anak keturunanku di suatu lembah tempat yang sangat gersang didekat rumahMu agar menjadi orang- orang yang mendirikan sholat”.  Perasaan iba dan sedih menyelimutinya.

Akhir perjalanan dilalui setelah anaknya beranjak dewasa dan Ibrahim sudah bersamannya. Melalui mimpi datanglah perintah:“Ibrahim, sembelihlah anakmu itu. “Akal” dan “hati” Ibrahim di uji dengan cukup berat. Pertaruhan antara memillih untuk tetap mencintai anaknya atau mengutamakan perintah Tuhan dengan cara menyembelih anaknya merupakan pilihan yang sangat sulit.

Ibrahim ditantang untuk tetap konsisten menjaga keseimbangan dalam memfungsikan “hati” dan “akal” di bawah bimbingan wahyu. Memilih perintah dengan menyembelih anaknya tanpa mememinta pendapat anaknya  mengabaikan hak azasi manusia atau telah mengabaikan kata “hati”nya. Mengabaikan perintahNya dengan tetap memilih utuk memepertahankan anaknya hidup merupakan pembangkangan terhadap Tuhan yang Haq atau telah mengabaikan pertimbangan “akal”nya.

Anak dan bapak adalah hamba Tuhan. Posisi anak dan bapak dihadapan Tuhannya tidak ada beda. Hak dan kewajibannya juga setara. Kerarifan ini, melahirkan dialog yang manusiawi. “ Wahai anaku, Aku mendapat perintah untuk menyembelih engkau, bagaimana menurut pendapatmu?” demikian Ibrahim memulai pembicaraan dengan arif. “Wahai ayahku, jika itu yang diperintahkan, laksanakanlah, engkau akan mendapati aku sebagai anak yang sholeh” Jawab Ismail dengan arif pula. “Kearifan” lahir dari keseimbangan “hati” dan “akal”, serta komitmen terhadap keyakinan terhadap Tuhan yang Hak. Kearifan Ibrahim itu, melahirkan prinsip demokrasi yang direfleksikan dalam menyiapkan anaknya menjadi penerus ajarannya- “Millah Ibrahim”. 

Garut, 20 September 2021

Sean Arkala