Banyak Utang Harus Produktif

MONITORDAY.COM - Utang banyak namun pertumbuhan ekonomi dan ekspornya juga luar biasa. Itulah gambaran tentang Tiongkok dengan utang sebesar 2,1 triliun dollar AS. Di kuartal I 2021 ekonomi Tiongkok melesat 18,3% seiring pemulihan ekonomi dan kemampuan mereka mengendalikan pandemi.
Kala pandemi, Tiongkok memang bukan satu-satunya negara yang mencatat lonjakan utang. Data serupa juga ditunjukkan Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Eropa ketika pemerintah di seluruh dunia meningkatkan pengeluaran untuk membantu bisnis dan rumah tangga mengatasi dampak pandemi.
Solvabilitas menjadi kata kuncinya. Yang penting mampu membayar utang berikut bunganya. Utang Tiongkok memang besar, namun komposisi utang Tiongkok tidak seperti AS dan Jepang. Sektor korporasi di Tiongkok menyumbang sebagian besar dari total utang. Tak kurang dari 160% dari PDB. Sementara itu, utang pemerintah merupakan bagian terbesar dari total utang di AS dan Jepang.
Setelah Tiongkok menyusul Brasil dengan utang sebesar 569,39 miliar dollar AS, India 560,03 miliar dollar AS, Rusia 490,72 miliar dollar AS, Meksiko 469,72 miliar dollar AS, dan Turki 440,78 miliar dollar AS
Berikutnya Indonesia dengan utang sebesar 402,72 miliar dollar AS, Argentina 279,3 miliar dollar AS, Afrika Selatan 188,1 miliar dollar AS, dan Thailand 180,23 miliar dollar AS. Kondisi Indonesia tentu perlu dianalisis secara adil dan terbuka. Seberapa produktif pinjaman atau utang mampu menggenjot produktivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi acuan yang belum kita capai hingga saat ini.
Pertumbuhan ekonomi sangat penting bagi setiap negara termasuk Tiongkok. Konsekuensinya produk barang dan jasa yang mereka hasilkan memerlukan pasar. Dan salah satu pilihan rasionalnya adalah mencari pasar ke negara lain. Skema Belt and Road Initiave adalah pilihan Tiongkok untuk memperluas pasar mereka. Tentu bersama modal yang mengalir dalam bentuk pinjaman maupun investasi.
Dalam beberapa waktu terakhir Pemerintah Tiongkok telah bertindak keras terhadap perusahaan teknologi besar. Padahal langkah berisiko itu akan merugikan inovasi di sektor swasta dan memperlambat pertumbuhan ekonomi Kemungkinan Tiongkok akan sangat tergantung investasi yang diiniisiasi negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam dekade berikutnya.
Boleh dikata Negeri Tirai Bambu ini berada di simpang jalan. Langkah Tiongkok memperketat pengawasan terhadap raksasa teknologi dinilai sebagai upaya menjaga dominasi Partai Komunis. Mereka tak ingin ada kekuatan alternatif yang menggoyang stabilitas sistem sosialis.