Banjir Kalsel, Meluasnya Sawit dan Komitmen Kelestarian Lingkungan

Banjir Kalsel, Meluasnya Sawit dan Komitmen Kelestarian Lingkungan
Banjir di Kabupaten Tanah Laut (15/1) (BPBD Kabupaten Tanah Laut)

MONITORDAY.COM - Pandemi Covid-19 belum juga usai, namun Indonesia harus menghadapi bencana lainnya. Sejumlah daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel) terendam banjir dalam beberapa hari terakhir. Setidaknya ada 1.500 rumah warga di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar.

Kalsel pun saat ini, dianda banjir besar. Ketinggian air mencapai 2-3 meter. Hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir disebut-sebut menjadi penyebab banjir terbesar di Kalsel sejak 50 tahun terakhir ini.

Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja menyabut jika banjir yang terjadi tahun ini lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mengundang seribu tanya, apakah betul hanya intensitas hujan yang tinggi saja penyebabnya?

Menurut M. Jefri, masifnya pembukaan lahan yang terjadi terus menerus sebetulnya memberi andil besar dari bencana ekologi yang terjadi di Kalimantan Selatan. Menurutnya, “bencana semacam ini terjadi akibat akumulasi dari bukaan lahan tersebut. Fakta ini dapat dilihat dari beban izin konsesi hingga 50 persen dikuasai tambang dan sawit."

Direktorat Jenderal Perkebunan (2020) mencatat, luas lahan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan mencapai 64.632 hektar. Untuk jumlah perusahaan sawit, pada Pekan Rawa Nasional I bertema Rawa Lumbung Pangan Menghadapi Perubahan Iklim 2011, tercatat 19 perusahaan akan menggarap perkebunan sawit di lahan rawa Kalsel dengan luasan lahan mencapai 201.813 hektar.

Apakabar Green Finance Indonesia?

Sesungguhnya ada begitu banyak kesepakan yang telah dibuat untuk menjaga komitmen dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Salah satunya yang pernah dibuat Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menurut Direktur Eksekutif WALHI, Yaya Nur Hidayat, OJK pernah membuat semacam road map tentang sustainable finance, yaitu keuangan yang berkelanjutan. Program ini, kata dia, meniru green banking di China tapi lagi-lagi itu pun sebatas komitmen di atas kertas semata.

“Kesepakatannya, Pemerintah China hanya akan memberikan kredit dan insentif keuangan lainnya kepada perusahaan-perusahaan yang menerapkan ekonomi hijau saja,” ujarnya.

Ini mereka lakukan, kata Yaya, karena pernah suatu kali China mengalami surplus pertumbuhan sekaligus menimbulkan surplus kerusakan alam. Karena itu, menurutnya, China pun menerapkan green banking.

Sayangnya, menurut Yaya, itu berdampak juga terhadap perekonomian Indonesia, karena industri kotornya justru dipindahkan ke Indonesia. “Industri batubara, semen, dan lainnya, adalah efek dari upaya green banking yang diterapkan di China juga,” pungkasnya.

Melihat kondisi ekologi yang mengkhawatirkan seperti saat ini, maka dibutuhkan upaya besar tak hanya dari pegiat lingkungan hidup di Indonesia, namun semua pihak. Karena bila tidak, maka apa yang dialami China bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia, surplus ekonomi sekaligus surplus kerusakan lingkungan.