Aturan Yang Melindungi Mitra atau Pengemudi Ojol Harus Jelas

MONITORDAY.COM - Kehadiran ojek online di awal mendapat sejumlah penolakan. Ada sejumlah regulasi yang dianggap terlanggar oleh eksistensinya. Bayangkan saja, banyak angkutan umum konvensional yang kalah bersaing. Ongkos relatif murah, apalagi dibandingkan biaya menunggu alias waktu ‘ngetem’ yang harus dialami saat naik angkot.
Ada sejumlah ketentuan yang menjadi pegangan para operator layanan transportasi umum. Diantaranya adalah Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalulintas angkutan jalan. Ada pula Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2014 tentang angkutan jalan.
Persoalan pajak juga menjadi sorotan. Ada peraturan menteri dalam negeri nomor 101 tahun 2014 tentang penghitungan dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor, karena tidak memiliki izin operasional dalam bentuk badan usaha sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
Dalam bahasa sederhana itulah bedanya kendaraan plat kuning dan plat hitam. Angkutan umum dengan plat kuning dibebani sejumlah kewajiban yang tentu menurunkan daya saingnya dibanding plat hitam yang digunakan untuk ‘ngompreng’. Istilah kerennya ride-sharing dan ride-hailing. Ride sharing sempat memunculkan komunitas nebengers yang sudah cukup banyak berkembang sebelum munculnya aplikasi ride-hailing seperti Gojek dan Grab.
Waktu itu para pengemudi angkot yang kehilangan pelanggan berang. Lahirlah larangan beroperasi bagi perusahaan transportasi berbasis online melalui keputusan menteri perhubungan UM. 302/1/21/phb/2015 karena dianggap bertentangan dengan undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan mengatur tentang pembinaan lalu lintas angkutan jalan, penyelenggaraan lalu lintas angkutan jalan, kewajiban menyediakan angkutan umum, pengusahaan angkutan,dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan angkutan umum yaitu dijelaskan pada pasal 138 ayat 3 , bahwa angkutan umum orang dan/ atau barang hanya dilakukan dengan kendaraan bermotor umum.
Kendaraan plat hitam seperti sepeda motor,mobil penumpang,dan mobil barang yang beroperasi sebagai ride-hailing dengan bantuan aplikasi internet bukanlah termasuk angkutan umum sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Aturan lain yang sempat menghadang ojek daring adalah pasal 139 ayat 4, penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan / atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun kemudian larangan tersebut dicabut mengingat besarnya pengaruh ojek online terhadap aspek sosial masyarakat dan perekonomian nasional Indonesia
Nasib para driver ojol juga semakin terpuruk saat pandemi menghantam. Berbagai pembatasan aktivitas dan mobilitas manusia membuat bisnis ini seakan mati suri. Sedikit agak tertolong dengan aktivitas antar barang atau antar makanan. Namun daya beli masyarakat yang menurun dan banyaknya UMKM kuliner yang menutup gerainya sangat memukul kondisi mereka.
Hal lain yang membuat para driver ojol cemas adalah merger antar startup digital yang dapat berdampak pada semakin lemahnya posisi tawar mereka. Menurunnya persaingan akan mengarah pada pasar yang monopolistik. Semakin sedikit pilihan bagi mitra dan konsumen.
Payung hukum yang melindungi para pengemudi ojol sama pentingnya dengan melindungi pekerja di sektor formal dan konsumen. Celah hukum dan kebijakan harus ditutup agar kepastian hukum dan nasib pekerja di sektor informal ini semakin baik. Demikian pula dengan sinkronisasi kebijakan juga harus dioptimalkan agar sengkarut tata aturan bisa diurai dan dibenahi.