Apa Kabar MEA?
Idealnya, selain dapat meningkatkan daya saing di pasar global, MEA juga sebetulnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, hingga meningkatkan standar hidup masyarakat di negara-negara ASEAN

Hampir semua orang di muka bumi (terutama di kawasan Asia Tenggara) sepertinya telah tersihir oleh mantra globalisasi. Bisa dibilang, tidak ada satu pun judul pidato yang disampaikan dalam berbagai forum yang tanpa menyelipkan term globalisasi. Anehnya, meski tak begitu paham betul dengan maknanya, orang begitu bangga mengucapkannya.
Sekiranya globalisasi yang secara istilah pertama kali diperkenalkan oleh Teodore Levitt ini benar-benar memberikan mantranya, dimana dengan dieliminasinya hambatan-hambatan pertumbuhan ekonomi global secara tidak langsung akan melahirkan iklim ekonomi yang kompetitif.
Mantra-mantra globalisasi tersebut sebetulnya diharapkan dapat menjelaskan bagaimana negara-negara utama dalam globalisasi dapat mendorong ekonomi negara-negara berpenghasilan rendah terus mengalami pertumbuhan yang positif. “Like the swan, we always move forward”, demikian sebuah analogi yang disandarkan untuk mengatakan kondisi saat ini atau kita bisa disebut dengan “formasi angsa-angsa terbang” (Kaname Akamatsu, 1930). Formasi angsa-angsa terbang dalam bentuk “V” terbalik sebagai gambaran bahwa kebersaingan negara-negara secara global.
Hanya saja, globalisasi ternyata bukanlah proses yang tunggal, atau “satu ukuran untuk semua orang.” Begitu banyak perusahaan kadung kecewa dengan penjualan di pasar internasional, pasar lama yang mulai menjenuhkan lalu merasa bila harus ada pasar baru yang ditemukan. Angsa-angsa terbang pun mengubah formasi menjadi huruf “V” terbalik, yang dalam kenyataannya ternyata juga melahirkan konsentrasi baru kekuatan ekonomi yakni China dan India. Begitulah globalisasi, selalu melahirkan konsentrasi kekuatan ekonomi baru.
Karenanya, negara-negara yang merasa belum bisa terbang bersama angsa-angsa lainnya, menganggap bahwa pasar China dan India terlampau kompetitif dan kurang cukup mendukung mereka untuk belajar mengepakkan sayapnya. Lalu munculnya ide regionalisasi seperti yang terbentuk di kawasan Asia Tenggara dan kita kenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pasar baru yang terbentuk ini tak hanya meniscayakan terbentuknya pasar baru, namun juga peluang baru. Begitu katanya.
Bila dilihat lebih mendalam, keyakinan tersebut memang ada benarnya. Karena dari pasar inilah misalnya muncul beberapa perusahan yang dinilai cukup memiliki daya saing yang tidak hanya dalam skup regional namun juga secara global. Menurut laporan The Boston Consulting Group (BCG), bahwa ada sekitar 50 perusahaan yang berkembang pesat, bersaing dalam ekonomi Asia dan Global, yang sebagian besar luput dari perhatian global.
Perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari sektor makanan dan minuman (11 perusahaan) dan 8 perusahaan lainnya bergerak dalam komoditas agrikultur. Sementara sisanya bergerak dalam bidang real estate, konstruksi, transportasi, dan logistik. Hebatnya lagi, dari 50 perusahaan tersebut, 12 perusahaan merupakan perusahaan yang berasal dari Indonesia.
Idealnya, selain dapat meningkatkan daya saing di pasar global, MEA juga sebetulnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, hingga meningkatkan standar hidup masyarakat di negara-negara ASEAN.
Persoalannya, globalisasi, MEA atau apa pun namanya tetaplah bukan proses yang tunggal atau satu untuk semua. Dalam integrasi ekonomi pastilah ada persaingan dan melahirkan konsentrasi baru kekuatan ekonomi. Karena itulah sejatinya pemerintah di masing-masing negara terutama Indonesia tak mengartikan MEA sebagai pasar bebas yang sebebas bebasnya hingga melupakan sokongan kepada para pelaku bisnis. Pemerintah tetap diharapkan memberikan fasilitas berupa regulasi dan proteksi. Karena kalau tidak maka para pengusaha kita tidak akan cukup kuat untuk mengepakan sayapnya dan terbang berdampingan dengan pengusaha-pengusaha lainnya.
M. Muchlas Rowie