Ancaman Perubahan Iklim Bagi Kemakmuran dan Pembangunan

MONITORDAY.COM - Sejumlah megara-negara di dunia tengah melawan pandemi Covid-19. Namun, tak hanya wabah, perubahan iklim juga menjadi ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global.
Perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat, kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi, namun juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai macam aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, misalnya kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan, sinkronisasi kebijakan antara negara maju dan berkembang mengenai perubahan iklim sangat penting untuk dilakukan.
Demikian hal ini disampaikan Presiden ketika mengadakan pertemuan CEOs Forum dengan beberapa investor besar asal Inggris, di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021) kemarin.
Berdasarkan catatan Data
dan Informasi
Bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama 10 tahun terakhir bencana yang ikut diakibatkan oleh perubahan iklim masih terbilang tinggi.
Pertanian
Salah satu kasus di Indonesia terkait dampak perubahan iklim pada sektor pertanian adalah kasus gagal panen akibat kekeringan yang terjadi di Kampar, Riau. Kegagalan panen ini disebabkan oleh perubahan iklim yang terjadi di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Puluhan hektar sawah di Kecamatan Bangkinang, Kabupaten Kampar tersebut dipastikan gagal panen akibat kekeringan dengan kerugian mencapai puluhan juta rupiah.
Salah satu anggota dewan Indonesia Climate Alliance (ICA) dari CCROM, Rizaldi Boer mengatakan, upaya perlindungan masyarakat kecil terhadap risiko loss and damage akibat dampak perubahan iklim ini dapat dilakukan dengan sistem asuransi terintegrasi yang mana salah satu keuntungannya adalah memberikan jaminan penggantian bagi petani yang mengalami gagal panen karena bencana yang disebabkan perubahan iklim.
"Konsep asuransi indeks iklim ini tidak fokus pada jaminannya akan tetapi pada upaya mendorong petani menggunakan teknologi yang adaptif terhadap perubahan iklim dan berdaya hasil tinggi," ungkap Rizaldi.
Melalui konsep ini, lanjut dia, bila iklim bersahabat maka petani yang menerapkan teknologi adaptif akan mendapatkan hasil yang tinggi. Namun, jika terjadi bencana karena iklim, petani tersebut dapat dilindungi oleh asuransi.
Rizaldi menerangkan, bahwa loss and damage adalah dampak sisa yang timbul dari upaya mitigasi dan adaptasi yang sudah dilakukan.
"Jika proses adaptasi dan mitigasi sudah dilakukan dan masih ada dampak dari bencana perubahan iklim, itulah loss and damage," urainya.
Dengan sebuah bentuk asuransi terintegrasi, beberapa pihak harus ikut berkontribusi dan bersinergi dalam pelaksanaannya dan selayaknya dipayungi payung hukum kebijakan. Di sisi lainnya, pendanaan mikro diperlukan untuk memudahkan petani mengakses teknologi adaptif. Selain itu, dibutuhkan fasilitator yang dapat mendampingi petani dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari teknologi itu.
Kelautan dan Perikanan
Persoalan perubahan iklim ini harus secepatnya untuk mengatasi dampak perubahan iklim, khususnya bagi sektor kelautan dan perikanan serta perlindungan bagi nelayan.
Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan menegaskan, perlindungan terhadap nelayan adalah hal yang mutlak yang harus dibahas dalam negosiasi iklim yang dilakukan di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) 2021.
Dani juga mendorong agar para pemimpin dunia menurunkan emisi karbon secara radikal untuk menyelamatkan laut dan daerah pesisir sebagai sumber kehidupan dan penghasil asupan protein bagi 3,3 miliar warga dunia.
“Perubahan iklim global telah mengancam perikanan dunia, dari soal migrasi ikan, perubahan fishing ground, terputusnya rantai makanan di perairan akibat keasaman laut hingga pemutihan karang (bleaching) yang jadi habitat ikan,” jelas Dani dalam keterangan tertulis, Selasa (2/11/2021).
Dalam hal ini, perlindungan terhadap nelayan kecil dan tradisional yang menempati pangsa terbesar dalam produksi perikanan dunia, menjadi strategi penting dalam mewujudkan keberlanjutan pangan protein.
Lalu, akibat perubahan iklim, nelayan kecil dan tradisional dihadapkan pada sejumlah permasalahan, seperti nelayan tidak dapat memperkirakan waktu dan lokasi penangkapan ikan, serta persoalan terkait tingginya risiko melaut dampak dari cuaca ekstrem.
"Hal ini menyebabkan nelayan harus menangkap ikan lebih jauh dengan ketidakpastian dan risiko akibat badai ataupun gelombang besar akibat cuaca ektrem yang bisa terjadi kapanpun. Alih-alih mendapat hasil yang menguntungkan, justru sering tidak menutup biaya produksi yang dikeluarkan," sebut Dani.
Selanjutnya, kenaikan muka air laut dan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim juga berdampak secara langsung terhadap terjadinya abrasi yang merusak ekosistem pantai serta hancurnya infrastruktur perkampungan pesisir akibat hantaman gelombang maupun banjir rob.
Spesies Primata
Penelitian di Institut Pertanian Bogor menyebutkan puluhan spesies primata di Indonesia terancam punah yang disebabkan akibat perubahan iklim.
Dosen IPB, Mirza D Kusrini dalam dalam Diskusi Perubahan Iklim Global menyatakan bahwa sekitar 30 spesies primata di Indonesia kemungkinan akan punah pada 2050.
“Penelitian menunjukkan kepada kita bahwa sekitar 30 spesies primata di Indonesia kemungkinan akan punah pada Tahun 2050. Ini benar-benar tidak baik," ucap Mirza.
Ia menjelaskan, dengan meningkatnya suhu, populasi atau sebaran primata di beberapa pulau di Indonesia akan berkurang, khsusnya di Jawa dan Sulawesi.
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Aryo Adhi Condro, Lilik Budi Prasetyo, Siti Badriyah Rushayati, I Putu Santikayasa dan Entang Iskandar dengan judul "Predicting Hotspots and Prioritizing Protected Areas for Endangered Primate Species in Indonesia under Changing Climate", disebutkan 75 persen
spesies dari kelompok keluarga Tarsidae akan
punah pada 2050.
Lalu, Kelompok famili owa (Hylobatidae) akan punah sekitar 50 persen. Orangutan sumatera (Pongo abelii) dan kukang jawa (Nycticebus javanicus) diperkirakan akan punah pada 2050.
Dalam penelitian itu, disebutkan primata Indonesia telah mengalami banyak ancaman akibat perubahan iklim dan perubahan bentang alam yang menyebabkan kepunahan. Maka dari itu, riset tersebut merekomendasikan perencanaan dan strategi konservasi primata menjadi penting dalam mempertahankan populasi primata di Tanah Air.
Wakil Ketua Regional untuk Asia Selatan dan Timur Komisi Kelangsungan Hidup Spesies International Union for Conservation of Nature (IUCN) ini menyebutkan, perubahan iklim tidak hanya berdampak pada spesies karismatik, tapi juga satwa liar lain.
Mirza juga menyoroti populasi komodo di Indonesia. Menurutnya, spesies komodo sudah masuk dalam kategori terancam punah dalam daftar merah IUCN.
Dikatakannya, suatu penelitian pada 2020
menunjukkan dalam suatu skenario dengan
aspek perubahan iklim, ada kemungkinan
populasi komodo akan menurun pada 2050.