Ahli Hukum Ini Sebut Kinerja DPR RI Mengecewakan, Ini Alasannya!

DPR hanya menghasilkan 80 UU, di mana 40 persen di antaranya UU di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Termasuk RUU KUHP yang telah mangkrak puluhan tahun lamanya.

Ahli Hukum Ini Sebut Kinerja DPR RI Mengecewakan, Ini Alasannya!
Gedung DPR RI/Net
Ahli Hukum Ini Sebut Kinerja DPR RI Mengecewakan, Ini Alasannya!
Ahli Hukum Ini Sebut Kinerja DPR RI Mengecewakan, Ini Alasannya!

MONITORDAY.COM - Ahli Hukum Tata Negara Universitas Jember, Dr Bayu Dwi Anggono menyebutkan, dalam kurun lima tahun terakhir, kinerja legislasi DPR RI sangat mengecewakan.

Menurutnya, DPR hanya menghasilkan 80 UU, di mana 40 persen di antaranya UU di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Termasuk RUU KUHP yang telah mangkrak puluhan tahun lamanya.

"Kinerja legislasi DPR 2014 - 2019 boleh dikatakan sangat mengecewakan," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono, Minggu (29/9/2019).

Bayu yang juga Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember ini mengungkapkan, berbagai alasan mengapa kinerja DPR sangat mengecewakan.

Pertama, target legislasi dalam Program Legislasi Nasional (Prolgenas) yang tidak pernah terpenuhi. Dari 189 RUU target selama 5 tahun DPR baru mengesahkan 80 an UU (40% an) itupun UU yang dibentuk mayoritas adalah UU yang masuk kategori di luar prolegnas yaitu daftar kumulatif terbuka.

Seperti pengesahan perjanjian internasional tertentu, akibat putusan Mahkamah Konstitusi; Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

"Ketika di akhir masa jabatan ini target tidak terpenuhi DPR berkilah bahwa mereka lebih menekankan aspek kualitas UU dibandingkan kuantitas, namun jangan lupa mereka sendiri pula yang menentukan target legislasi dalam prolegnas di awal masa jabatan. Jika sejak awal prioritas pada kualitas seharusnya jumlah RUU yang ada dalam Prolegnas tidak perlu sebesar itu," ujar Bayu.

Kedua, lanjutnya, aspek kualitas pembentukan UU Juga menunjukkan permasalahan. Selain berbagai UU kontroversial yang terjadi di akhir masa jabatan karena pembahasannya yang tiba-tiba, tertutup dan bertolak belakang dengan kehendak publik, maka sejak lama DPR RI sebenarnya sudah membentuk UU yang mengandung masalah.

"Sebagai contoh dalam perubahan UU MD3 awal 2018 yang menjadikan DPR sebagai lembaga yang makin jauh dari rakyat dan anti kritik karena ada pasal yang bisa memerintahkan kepolisian panggil paksa dan menyandera orang yang tidak menghadiri panggilan DPR," ujarnya.

"Kemudian pasal tentang tugas Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Untungnya kemudian pasal-pasal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," imbuh Bayu kemudian.

Menurutnya, DPR dalam membentuk UU seringkali mengatur kembali norma-norma yang sudah dibatalkan atau dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Sebagai contoh seperti di UU Pemilu 2017 dimana DPR mengatur kembali kewajiban verifikasi parpol hanya untuk parpol baru sementara parpol yang punya kursi di DPR tidak perlu. keberadaan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu secara jelas dan terang menghidupkan kembali norma dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

"Pada akhirnya pasal inipun kembali dibatalkan oleh MK," cetus Bayu.

Ketiga, soal keberpihakan atau politik hukum dalam pembentukan UU. DPR 2014 - 2019 condong lebih fokus mengurus legislasi yang terkait dengan kepentingan dan bagi-bagi kuasa bagi anggota DPR sendiri.

Sebagai contoh Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mencatatkan rekor sebagai UU yang paling sering direvisi di periode ini. Sampai saat ini UU MD3 sudah 3 kali dilakukan revisi, pertama akhir 2014 untuk menambah jumlah pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD).

Berikutnya perubahan pada 2018 yang menjadikan DPR sebagai lembaga anti kritik dan dapat memidanakan pengkritiknya. Kemudian Perubahan ketiga baru saja dilakukan di akhir masa jabatan ini dengan menambah pimpinan MPR yang seharusnya 5 menjadi 10 orang.

"Sementara Beberapa RUU yang penting bagi publik dan perlindungan HAM justru terabaikan seperti RUU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU tentang Penyadapan, RUU Data Pribadi, RUU pembatasan transaksi uang kartal, RUU sistem pengawasan intern pemerintah dan RUU Jabatan Hakim," pungkas Bayu.