Agar Tidak Terulang Defisit, Presiden Minta BPJS Kesehatan Perbaiki dan Benahi Sistem Kelola

Presiden Jokowi mengatakan, bahwa orientasi kerja di bidang kesehatan bukan lagi hanya mengobati yang sakit, tetapi kita harus diarahkan pada pencegahan dan promotif.

Agar Tidak Terulang Defisit, Presiden Minta BPJS Kesehatan Perbaiki dan Benahi Sistem Kelola
Kartu JKN KIS - BPJS Kesehatan (Fhoto/ Net)

MONITORDAY.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan, berdasarkan laporan terakhir yang diterimanya cakupan kepesertaan untuk Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN KIS) sudah mencapai dari 133 juta di 2014, dan sekarang sudah 222 juta.

“Dari keseluruhan itu 96 juta itu adalah masyarakat yang tidak mampu yang digratiskan oleh pemerintah yang iurannya dibantu oleh pemerintah,” kata Presiden Jokowi saat memberikan pengantar pada Rapat Terbatas (Ratas) tentang Program Kesehatan Nasional, di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (21/11), seperti dilansir dari laman resmi Sekretariat Kabinet.

Menurut Presiden, hingga 2018 pemerintah telah mengeluarkan dana kurang lebih Rp115 triliun, belum lagi iuran yang disubsidi oleh Pemerintah Daerah sebanyak 37 juta, dan TNI-Polri 17 juta.

“Artinya yang sudah disubsidi oleh pemerintah itu sekitar 150 juta jiwa. Ini angka yang sangat besar. Oleh sebab itu saya minta betul-betul manajemen tata kelola di BPJS terus dibenahi dan diperbaiki,” pinta Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi mengatakan, bahwa orientasi kerja di bidang kesehatan bukan lagi hanya mengobati yang sakit, tetapi kita harus diarahkan pada pencegahan dan promotif.

Karena itu, Presiden meminta Menteri Kesehatan untuk melakukan langkah-langkah pembaharuan yang inovatif dalam rangka mengedukasi masyarakat untuk hidup sehat.  Dan ini, menurut Presiden, harus menjadi sebuah gerakan yang melibatkan semua pihak, baik yang di sekolah maupun masyarakat pada umumnya.

Mengenai pembagian wilayah, Presiden Jokowi menyampaikan,  urusan BPJS itu adalah urusan kesehatan individu. Kemudian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) itu adalah urusan kesehatan keluarga. Kemudian Kementerian Kesehatan itu adalah kesehatan masyarakat.

“Tetapi semuanya dikoordinir oleh Menteri Kesehatan. Sehingga jelas kalau ada hal-hal yang berkaitan dengan masalah di lapangan siapa yang menjadi penanggung jawab, bukan lempar sana dan lempar sini,” tegas Presiden.

Di sisi lain, BPJS mengakui dengan adanya kenaikan iuran tidak akan serta merta langsung mengalami surplus pada 2020 karena akan digunakan untuk menambal  defisit yang dialami pada tahun 2019.  “Tahun 2020 itu enggak lagi, sudah surplus tapi surplusnya untuk menutup defisit yang ter-carry over di tahun 2019,” ungkap Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, Senin (19/11) seperti dikutip dari voaindonesia.com

Fachmi juga mengatakan bahwa BPJS Kesehatan akan segera membayar tunggakan utang yang belum dibayarkan kepada sejumlah Rumah Sakit (RS). Adapun jumlah utang BPJS Kesehatan kepada RS sampai akhir September 2019 adalah sebesar Rp17 triliun. Ia mengatakan bahwa pada Jumat (22/11), pihaknya akan mulai membayarkan utangnya kepada RS secara bertahap setelah menerima suntikan dana tahap pertama dari pemerintah untuk menutupi defisit tahun ini.

Fachmi menjelaskan, pada tahap awal tersebut pemerintah akan membayarkan selisih untuk kenaikan iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) pemerintah pusat sekitar Rp9 triliun. Uang selisih pembayaran PBI Pemerintah pusat tersebut akan digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk mulai mencicil tunggakan utang kepada RS.

Perlu diketahui, Pemerintah sudah meresmikan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ketika Presiden Joko Widodo atau Jokowi menandatangani Perpres Nomor 75 Tahun 2019 pada akhir Oktober 2019.

Kenaikan sebesar 100 persen itu rencananya akan berlaku pada 1 Januari 2020 dan membuat iuran Kelas I dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000, Kelas II dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, Kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Langkah kenaikan iuran itu dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Pada 2018, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendapatkan defisit Rp 9,1 triliun dialami badan yang mengurus jaminan kesehatan nasional itu. Hasil itu menunjukkan sedikit penurunan setelah defisit sebesar Rp 9,7 triliun yang dialami oleh BPJS Kesehatan pada 2018.