Tugas Berat Mendag Menggenjot Ekspor
Akankah target pertumbuhan ekspor 11% bisa dicapai di tengah gejolak nilai tukar Rupiah?

MONDAYREVIEW- Di tengah tekanan terhadap nilai tukar Rupiah, pemerintah harus waspada. Kewaspadaan yang harus mewujud dalam strategi yang jitu untuk mengantisipasi keadaan dan perubahan. Kenaikan harga minyak dan perbaikan ekonomi AS diduga menjadi penyebab di balik merosotnya nilai Rupiah. Walaupun pemerintah berkilah bahwa faktor eksternal lebih berpengaruh terhadap menurunnya nilai tukar Rupiah, tak dapat dipungkiri bahwa berbagai masalah internal juga masih menjadikan ekonomi kita rentan terhadap gejolak.
Pada saat yang sama, momentum ini dapat digunakan untuk menggenjot ekspor Indonesia. Defisit Neraca perdagangan Indonesia dipicu oleh sektor migas yang masih defisit US$ 859,5 juta. Hal ini pantas menjadi perhatian semua fihak. Mengingat subsidi di sektor ini juga masih sangat tinggi. Efisiensi adalah tantangan utama semua fihak. Tentu rakyat tidak berharap solusinya adalah dengan mengurangi pasokan BBM bersubsidi hingga menimbulkan kelangkaan.
Pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 5,5% sementara pertumbuhan ekspor Indonesia masih monoton di kisaran 7%. Presiden menargetkan pertumbuhan ekspor tahun 2018 ini bisa mencapai 11%. Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri. Jika tantangan ini tidak disiasati dengan baik, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami situasi yang sulit.
Defisit perdagangan RI terhadap Tiongkok cukup tinggi pada Maret 2018 ini yakni mencapai 191,7 T Rupiah. Untuk mengurangi defisit ini, salah satu alternatifnya adalah menggenjot ekspor. Dan peluangnya adalah ekspor CPO (crude palm oil) atau minyak kelapa sawit dan produk otomotif.
Industri pengolahan diharapkan masih bisa diandalkan untuk memacu kinerja ekspor. Tak kurang dari 73% kontribusinya terhadap ekspor non-migas di awal 2018. Sementara industri pertanian belum mencapai 2%. Perlu diingat bahwa industri pengolahan ini membutuhkan sebagian bahan baku dan barang modal yang diimpor.
Tingginya impor bahan baku dan barang modal menjadi pertanda bahwa neraca perdagangan masih tergolong sehat. Keduanya diperlukan untuk menggerakkan industri dalam negeri. Tentu saja, industri dengan bahan baku lokal akan sangat positif dampaknya bagi neraca perdagangan. Namun demikian adalah hal yang wajar dan masih difahami bila tingginya impor barang modal dan bahan baku dibandingkan dengan barang konsumsi. Dengan kata lain, impor barang konsumsi juga harus tetap dijaga agar tetap terkendali.
Tahun 2017 menunjukkan surplus ekspor RI yang tertinggi dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Nilainya mencapai US$ 11,84 miliar. Untuk mempertahankan surplus ini, kinerja ekspor harus terus digenjot. Tahun 2017, total nilai ekspor RI sebesar US$ 168,73 miliar. Bagaimanapun caranya, pemerintah harus mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kinerja ekspor dan menstabilkan neraca perdagangan. Terlebih ekspor barang jadi yang punya implikasi meningkatnya nilai tambah dan penggunaan sumber daya dalam negeri.
Nilai ekspor CPO tahun lalu telah mengalami overshooting hingga 26%. Lonjakan harga ini diprediksi tidak akan terulang di tahun ini. Disamping itu kenaikan harga batubara dan minyak mentah juga tidak akan terlalu tinggi. Efek perlambatan harga komoditas inilah yang akan menjadi kendala dalam pencapaian kinerja ekspor Indonesia.
Jika Parlemen Eropa melarang penggunaan minyak kelapa sawit untuk campuran bahan baku transportasi pada tahun 2021, maka Indonesia sebagai pengekspor terbesar akan mengalami pukulan telak. Permintaan CPO akan turun tajam. Dan harga komoditas ini bisa hancur.
Jalan keluarnya adalah pemerintah harus memberi insentif kepada investor untuk membuka usahanya di Indonesia. Hingga kita bisa mengurangi ekspor bahan mentah, mampu meningkatkan nilai tambah, dan eskpor barang jadi pun lebih meningkat.
Pembenahan internal di kementerian dan lembaga pemerintah harus dilakukan agar bisa mendukung iklim investasi. Sehingga birokrasi menjadi lebih efisien, terobosan-terobosan bisa dilakukan, dan upaya-upaya untuk menyederhanakan berbagai aturan bisa diimplementasikan.
Saat pembenahan internal sudah bisa dilakukan, maka perjanjian-perjanjian kerjasama perdagangan baru harus dilakukan atau diperbaharui. Upaya ini telah dilakukan oleh pemerintah khususnya Kementerian Perdagangan. Hanya saja masih perlu kerja keras untuk meningkatkan sekaligus merealisasikan sejumlah kesepakatan bilateral itu.