Waspadai Jenis Narkoba Baru Berbasis Sintetik yang Terus Berkembang

MONITORDAY.COM - Indonesia adalah bangsa yang besar dengan jumlah penduduk sekira 270 juta jiwa. Indonesia akan tumbuh menjadi negara yang kuat apabila mampu memanfaatkan momentum bonus demografi beberapa tahun ke depan. Salah satu ancaman yang dapat mengganggu pencapaian tersebut adalah penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang.
Diperkirakan 3,4 juta penduduk Indonesia yang terpapar narkoba. Menurunnya kualitas hidup para pengguna narkoba tentu merugikan bagi bangsa kita. Produktivitas dan kontribusinya dalam pembangunan nasional dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak optimal bahkan bisa hilang sama sekali. Biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan secara probadi, oleh keluarganya, bahkan oleh negara juga tidak sedikit.
Menurut Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional (BNN) Brigjen Sulistyo Pudjo Hartono dalam SINGLE CONVENTION ON NARCOTIC DRUGS ( Konvensi Narkoba) di tahun 1961, yang digolongkan narkotika baru 3 jenis yang berasal dari tanaman koka di Amerika, tanaman opium di Asia Tengah, dan tanaman cannabis (ganja). Hal tersebut disampaikan dalam diskusi virtual Tamu Redaksi Monday Media Group pada Senin (19/4/2020) petang.
Dalam Artikel 2 ayat 7 dokumen Konvensi tersebut termuat :
The opium poppy, the coca bush, the cannabis plant, poppy straw and cannabis leaves are subject to the control measures prescribed in article 19, paragraph 1, subparagraph e), article 20, paragraph 1, subparagraph g), article 21 bis and in articles 22 to 24; 22, 26 and 27; 22 and 28; 25; and 28.
Tentu masih ada beragam jenis tanaman lainnya yang tergolong narkoba. Kecanggihan teknologi dalam mengekstraksi atau melakukan proses purifikasi atas bahan-bahan alami tersebut menghasilkan narkoba berkualitas tinggi. Dan dalam perkembangannya narkotika semakin beragam. Dari yang alami atau berasal dari tanaman bertambah banyak jenis lain yang tergolong sintetik dan semi sintetik.
“Ada 903 New Psychoactive Susbstances yang terdaftar di dunia. 74 masuk ke Indonesia dan 66 sudah masuk dalam appendix Kementerian Kesehatan,” kata Pudjo.
Hal ini menunjukkan bahwa perang melawan narkoba harus dilakukan secara kolektif oleh semua elemen bangsa. Bangsa Indonesia secara keseluruhan yang akan menentukan bagaimana peta perang ini sekaligus masa depan bangsa. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembuat Undang-undang dituntut untuk jernih dan sigap dalam membaca dan mengikuti perkembangan sehingga payung hukum bagi pemberantasan narkoba tidak tertinggal oleh perkembangan kasus dan jenis narkoba di lapangan.
“Produk-produk narkoba di masa depan tergantung pada perkembangan di bidang ilmu kimia, sangat massif dan sangat murah. Tidak lagi narkoba yang berasal dari tanaman,” lanjut Pudjo.
Terkait dengan situasi pandemi dimana banyak orang mengalami stress bahkan depresi maka Pudjo menegaskan bahwa narkoba bukan jalan keluar. Kementerian terkait dan Pemerintah Daerah tentu telah mengupayakan agar para pasien yang membutuhkan penanganan medis terkait psikiatri dapat mengakses layanan dengan mudah dan murah. BNN menyediakan layanan psikiatri dalam konteks rehabilitasi bagi pengguna narkoba.
“Mungkin saja keluarga dan teman-teman kita yang terpapar narkoba. Rehabilitasi di BNN tidak dipungut biaya alias gratis,” pungkas Pudjo.