Usai PM Ismail Dilantik, MUI Ungkap Tantangan Demokrasi di Negeri Jiran

MONITORDAY.COM - Suhu politik Malaysia di masa pandemi kian memanas pasca Muhyiddin Yassin resmi mundur dari posisinya sebagai Perdana Menteri. Hal ini terjadi karena Muhyiddin dinilai bertentangan dengan konstitusi mencabut Undang-undang Darurat tanpa seijin Yang Dipertuan Agung dan tidak melalui mekanisme pembahasan di Parlemen.
Padahal ia baru menjabat selama 17 bulan. Akibatnya, PM Muhyiddin pun dilengserkan dan kemudian diganti Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob.
Demikian disampaikan oleh Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama internasional, Sudarnoto Abdul Hakim di diskusi dengan tajuk “Membaca Masa Depan Malaysia Pasca Mundurnya Muhyiddin Sebagai Perdana Menteri” yang diinisiasi oleh Forum Komunikasi Warga Muhammadiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Minggu (29/8/2021).
"Penetapan PM baru hanyalah satu cara untuk menyelesaikan masalah politik di Malaysia. Masih banyak dan besar tantangan dan masalah yang dihadapi khususnya oleh pemerintah baru ini," ungkap Pengamat Politik Malaysia ini.
Kendati demikian, sambung Sudarnoto (sapaan akrabnya), posisi PM Ismail juga berpotensi dimakzulkan seperti sebelumnya. Lantas seperti apa wajah demokrasi negeri jiran usai ditetapkannya PM Ismail sebagai pengganti PM Muhyiddin.
Sudarnoto selanjutnya mengungkapkan sejumlah tantangan ke depan yang dihadapi Malaysia.
Tantangan pertama adalah menghadapi Pandemi sekaligus economic recovery secara tepat. Parlemen memang telah memberikan endorsement anggaran tahun 2021 yang diajukan pemerintah tahun 2020 sebesar RM 250 miliar.
Ada tambahan sebesar RM 10 miliar untuk apa yang disebut sebagi Paket Stimulus. Paket ini digunakan untuk membantu UKM yang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi yang meliputi subsidi upah yang disediakan dua kali lebih besar dari yang biasa yaitu sebesar RM 13,8 miliar.
Masa awal pemerintahan Muhyiddin, Malaysia telah berhasil mengendalikan dan menghadapi Pandemi ini. Akan tetapi, sejak diadakannya Pemilu di Sabah September 2020, virus Pandemi kembali mengganas hingga saat ini apalagi dengan masuknya varian baru.
Korban pandemi masih sangat tinggi, kesulitan dan kesengsaraan ekonomi juga semakin massif meskipun sudah disediakan anggaran stimulus di atas. Jadi dalam waktu dekat ini hingga menjelang jadwal Pemilu tahun 2023, pemerintahan harus mampu secara efektif menjawab tantangan ini.
“Nasib politiknya, sangat tergantung kepada kemampuan pemerintah untuk menjawab Pandemi ini. Jika Pandemi mengganas karena pemerintah yang tidak efektif, bisa jadi PM Ismail akan mengalami nasib yang sama dengan Muhyiddin” kata peneliti Malaysia dari UIN Jakarta ini.
Tantangan kedua ialah bahwa kepemimpinan UMNO jilid ke dua ini menjadi pertaruhan apakah Malaysia ke depan akan semakin baik.
Dalam situasi yang sulit seperti sekarang ini dan membaca perubahan-perubahan besar ke depan harusnya mendorong pemerintahan Ismail sekarang ini lebih terbuka.
Rencana awal PM Ismail mengikut sertakan oposisi untuk menjadi satu tim menghadapi pandemi, gejolak ekonomi dan politik paling tidak hingga tahun 2023 sebetulnya bagus. Akan tetapi, niat ini diurungkan.
Jika pola kepemimpinan UMNO sekarang ini tidak ditransformasi dan tetap mempertahankan gaya lama UMNO, maka Malaysia akan stagnan.
Transformasi kepemimpinan politik menjadi penting untuk meyakinkan bahwa demokrasi benar-benar terwujud sehingga kekuatan-kekuatan civil society dan peran kaum intelijensia memperoleh tempatnya yang baik.
Kelas menengah di Malasysia seharusnya sudah tumbuh kuat dan mampu memainkan peran strategis baik bidang politik, sosial dan ekonomi.
Tapi saat ini, negara masih terlalu kuat dan kelompok kelas menengah yang independent juga belum nampak berpengaruh besar.
Karena itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Buya Anwar Abbas (wakil Ketua Umum MUI), aktor utama dan menentukan bidang ekonomi di Malaysia bukan Melayu, apalagi Puak Melayu ini secara politik juga tidak terkonsolidasi tapi terpecah-pecah.
Situasi masih lemahnya kelompok kelas menengah yang independent ini juga disoroti oleh Hudri, mahasiswa doktor di Inggris.
Jika ini dibiarkan, maka demokrasi di Malaysia akan suram, tidak kuat.
Sementara Masri Mansur, kordinator FKW Muhammadiyah UIN Jakarta mengatakan bahwa demokrasi harus diperkuat sehingga masyarakat bisa menikmati kesejahteraan.
Jangan sampai kekuasaan pemerintah di Indonesia maupun di Malaysa tergadaikan atau terjebak oleh kekuatan uang.