Trump Tumbang Tiongkok Senang

Kemungkinan besar Paman Sam akan punya presiden baru. Dukungan terhadap petahan terus merosot.

Trump Tumbang Tiongkok Senang
Donald Trump-Joseph R. Biden Jr (Foto: The New York Times)

MONITORDAY.COM - Joe Biden unggul dari Donald Trump. Hasil hitung berbagai jajak pendapat memperlihatkan capres dari Partai Demokrat itu unggul suara dari petahana baik di tingkat nasional maupun di wilayah Swing States.

Survei yang dilakukan Financial Times dan New York Times menunjukkan kepercayaan warga AS pada Trump terus turun. Penyebabnya akibat kelalaian Trump mengurus pandemi Covid-19.

Survei dirilis dua pekan jelang pemilihan presiden 3 November. Dari data Real Clear Politics per 20 Oktober, Trump mendapat dukungan 42,5 persen sementara Biden 51.1 persen.

Biden juga muncul sebagai pemenang dalam polling NBC News/Wall Street. Biden unggul dari Trump yang hanya memperoleh dukungan 42,53 persen.

Tren kemenangan Biden juga tergambar dari survei Reuters/Ipsos. Hasil survei memperlihatkan keunggulan Biden di wilayah Swing States. Pada Pilpres 2016, Trump mendapat dukungan 10 dari 14 negara bagian namun saat ini hanya Texas dan Ohio yang mendukungnya. Di negara bagian lain seperti Lowa dan Georgia, popularitas Trump tak bisa dipertahankan.

Peta dukungan di Michigan dan Wisconsin juga sama. Selisih kemenangan Biden dari capres Partai Republik itu bahkan sangat tinggi, yakni 15 persen.

Di luar hasil jejak pendapat, dua pertanyaan populer muncul di kalangan komunitas intelijen AS. Apakah Rusia berupaya mempertahankan Trump sebagai presiden? Apakah Tiongkok memberikan dukungan moral kepada Biden?

Kekuatan-kekuatan asing diyakini menebar pengaruh baik tersembunyi maupun terbuka untuk mempengaruhi pemilih. Secara eksplisit kekuatan asing yang menjadi sorotan adalah Rusia dan Tiongkok.

Mengutip laporan berbagai sumber, intelijen AS meyakini Rusia berusaha mempengaruhi pemilih agar mendukung Trump seperti pada Pilpres 2016. Pertemuan tim Trump dengan para pejabat Rusia menguatkan dukungan Kremlin. 

Panel Senat yang dikuasai kubu Republik menyebut Rusia menginginkan Trump menang. Direktur FBI Christopher Wray berdalih campur tangan Rusia dimulai dalam pemilihan kongres tahun 2018. Ia menyebut Rusia menjadikan pemilihan kongres sebagai "gladi bersih" keterlibatan pada pilpres.

Kepala Pusat Keamanan dan Kontraintelijen Nasional (NCSC) William Evanina mengatakan Rusia menggunakan berbagai langkah untuk secara khusus merendahkan Biden.

Sebaliknya, pejabat penting di pemerintahan Trump berpendapat bahwa sebenarnya Tiongkok yang berkepentingan, bukan Rusia. Tiongkok digambarkan sebagai ancaman utama tahun ini antara lain digambarkan Jaksa Agung William Barr.

Sinyalemen kuat sudah dikirim Beijing. Trump mereka sebut sebagai ancaman terbesar dalam Pilpres AS.

Baik Rusia maupun Tiongkok membantah tegas tudingan campur tangan dalam Pilpres AS. Seorang juru bicara Kremlin menyebut tuduhan campur tangan pada pemilu di negara-negara lain sebagai "pengumuman paranoia" yang menyesatkan. Adapun Tiongkok menyakinkan tidak terlibat dalam urusan dalam negeri negara-negara lain dengan mengatakan tak tertarik atau tak bersedia melakukannya. 

Meski begitu, anggapan kedua negara bermain dalam Pilpres AS diyakinkan oleh pernyataan Biden maupun Trump. Biden dan Trump kerap menunjukkan kecenderungan didukung bahwa mereka didukung Tiongkok dan Rusia.

Biden baru-baru ini menyebut Rusia sebagai lawan dari AS dan mengatakan akan ada harga yang dibayar jika Rusia terus melakukan campur tangan.

Sebaliknya, Trump meremehkan tuduhan campur tangan Rusia dan secara terbuka memberikan pembelaan. "Tentu mereka menginginkan Biden. Saya sudah mengambil miliaran dollar dari China dan memberikannya kepada petani kita dan Departemen Keuangan. China akan menguasai AS jika Biden & Hunter masuk!" tulis Trump di akun media sosialnya belum lama ini.