Sosiolog UNAIR: Larangan Mudik Adalah Sebuah Keharusan

Sosiolog UNAIR: Larangan Mudik Adalah Sebuah Keharusan
Ilustrasi mudik lebaran.(KOMPAS.com/ALDO FENALOSA)

MONITORDAY.COM - Pemerintah secara resmi telah melarang mudik dan mengurangi jumlah libur dan cuti Hari Raya pada tahun 2021. Hal ini disebabkan oleh masih tingginya angka penularan covid-19 di Indonesia. Selain itu beberapa negara seperti India mengalami lonjakan angka positif covid-19. Ini membuat Indonesia waspada jangan sampai apa yang terjadi di India terjadi di Indonesia. 

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Prof. Bagong Suyatno menilai, larangan mudik ini membatalkan reward sosial yang diinginkan seseorang untuk bertemu dan melepas kangen bersama keluarga.

"Dalam situasi normal, orang tentu rela mengeluarkan uang dan bercapek-capek untuk bisa mudik. Karena, reward sosialnya itu orang dapat merasakan langsung," kata Bagong seperti dikutip dari laman Unair, Rabu (12/5/2021).

Pemerintah melarang masyarakat mudik karena dianggap berpotensi membuka kembali gelombang II dan III perluasan Covid-19. Kekhawatiran ini tentu mendatangkan lebih banyak masalah daripada manfaatnya.

Bagong menyebut larangan itu sudah menjadi keharusan. Mengingat, Indonesia sudah belajar dari pengalaman negara lain terkait penyebaran Covid-19.

Menurutnya, pemecah masalah terkait kebijakan larangan mudik saat ini bukan perihal membatalkan atau mencari jalan tikus mencari celah agar bisa mudik.

Tetapi bagaimana mencari alternatif atau bentuk lain dari mudik yang bisa dilakukan masyarakat sebagai pengganti ritual mudik tanpa bertemu secara langsung.

"Sebagai pengganti mudik, masyarakat bisa menyiasatinya dengan mudik melalui teknologi. Seperti keliling di grup-grup WhatsApp, telepon, atau bahkan video call," tegas Bagong. 

Bagong menambahkan, dengan diberlakukannya larangan mudik, warga yang melanggar aturan ini tidak boleh dinilai sebagai pelanggar hukum. Tetapi lebih dipahami sebagai resistensi.

"Pelanggar aturan mudik sendiri menurut saya beda tipis antara bentuk resistensi dan pelanggar hukum. Sebetulnya, saya lebih setuju bahwa itu dipahami sebagai bentuk resistensi masyarakat. Bukan dinilai sebagai pelanggar hukum, lalu disanksi," imbuh Bagong.

Kembali ke masing-masing pribadi Bagong juga sepakat dengan slogan dari kampanye Doni Monardo "mudik akan membunuh orangtuamu". Namun kebijakan larangan mudik ini juga tergantung masing-masing dari pribadi dari masyarakat Indonesia. "Tergantung masing-masih pribadi, mereka ingin membahayakan atau tidak. Toh mereka sudah tahu risikonya dari Covid 19," tutup Bagong.