Soal Rasisme di Amerika Serikat, PBB Minta Trump Dengarkan Pesan Demonstran

Tetapi mereka harus diungkapkan dengan cara damai dan pihak berwenang harus menunjukkan tidak ada pengekangan dalam menanggapi demonstran.

Soal Rasisme di Amerika Serikat, PBB Minta Trump Dengarkan Pesan Demonstran
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), António Guterres/ Net

MONITORDAY. COM - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), António Guterres melalui juru bicara Stephane Dujarric mendesak para pejabat di Amerika Serikat, termasuk Presiden Donald Trump, untuk mendengarkan aspirasi dari para pendemo persoalan rasisme yang masih bergejolak di negeri Sam.

"Keluhan harus didengar," kata Dujarric dilansir dari Reuters, Selasa (02/06/2020). 

"Tetapi mereka harus diungkapkan dengan cara damai dan pihak berwenang harus menunjukkan tidak ada pengekangan dalam menanggapi demonstran," tambahnya

Guterres menyoroti gelombang demonstrasi AS terjadi atas kematian seorang pria kulit hitam, George Floyd saat ditahan oleh empat polisi di Minneapolis pada minggu lalu. Kemudian, beberapa dari protes yang sebagian besar damai berubah menjadi kerusuhan sipil di banyak kota di AS.

"Di AS, seperti di negara lain manapun di dunia, keanekaragaman adalah kekayaan dan bukan ancaman. Tetapi keberhasilan berbagai masyarakat di negara mana pun membutuhkan investasi besar-besaran dalam kohesi sosial," lanjutnya.

Sementara itu, Trump dikabarkan meminta Departemen Kehakiman dan FBI untuk menyelidiki kematian Floyd. Namun, tidak membuat pernyataan publik yang dapat meredakan protes tersebut.

Selain itu, Trump malah mengeluarkan beberapa cuitan melalui media sosial yang menggambarkan demonstran sebagai 'preman'. Bahkan, ia mendesak walikota dan gubernur untuk tegas dan mengancam menggunakan militer melawan para pengunjuk rasa.

"Kami selalu mengatakan bahwa pasukan kepolisian di seluruh dunia perlu memiliki pelatihan hak asasi manusia (HAM) yang memadai, dan mereka juga harus menjadi investasi dalam dukungan sosial dan psikologis bagi polisi sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik," ucapnya.

Diketahui, George Floyd, seorang pria kulit hitam berusia 46 tahun, tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin, salah satu dari empat polisi Minneapolis yang menahannya. 

Sebelumnya, dikabarkan oleh AFP, George ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai US$ 20 (Rp 292 ribu) pada Senin (25/05/2020).

Adapun, penangkapan George yang terekam dalam sebuah video yang menjadi viral tersebut memperlihatkan Chauvin menekan leher George, yang saat itu dalam keadaan sedang diborgol dan menelungkup di pinggir jalan, selama kurang lebih tujuh menit.

Dalam video itu terlihat George berkali-kali merintih kesakitan dan mengaku sulit bernafas. Ia bahkan sempat menangis dan memanggil ibunya sesaat sebelum tewas.

Kematian George di tangan polisi ini pun memicu kemarahan publik, khususnya warga kulit hitam. Mereka yang berang terhadap perlakuan polisi yang rasis, mulai turun ke jalan dan berdemonstrasi, meminta pertanggungjawaban atas kasus pembunuhan tersebut.

Empat oknum polisi Derek Chauvin, Tou Thao, Thomas Lane, dab J. Alexander Kueng yang bertanggung jawab atas kematian George memang dipecat keesokan harinya. Namun, mereka masih bebas berkeliaran. Saudara George menuntut agar para tersangka dihukum atas pembunuhan.

Sejak Kamis (28/05/2020), unjuk rasa dan protes melanda sejumlah kota besar AS. Mereka yang kebanyakan berkulit hitam membuat gerakan #BlackLivesMatter, dan turun ke jalan untuk menuntut tindakan kebrutalan polisi dan pertanggungjawaban atas beberapa kematian warga kulit hitam di tangan mereka.