Soal Keberpihakan Produk dalam Negeri, Pemerintah Dirorong Terapkan Kebijakan yang Konsisten

MONITORDAY.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sebuah pidatonya menyatakan agar benci produk asing. Pernyataan tersebut mengemuka dan lantas menjadi perbincangan publik.
Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai, pernyataan Presiden antiproduk asing tersebut memerlukan kebijakan yang konsisten dalam menghadapi kondisi liberalisasi pasar platform digital saat ini.
"Mimpi UMKM berkualitas ekspor seperti bagaimana diperlihatkan oleh Alibaba atau Tao Bao Village tidak semudah membalikkan telapak tangan," kata peneliti IGJ Olisias Gultom dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (6/3/2021).
Olisias mengatakan, pernyataan Presiden soal antiproduk luar negeri justru kontras dengan sikap dan kebijakan pemerintah selama ini, yang telah menandatangani 20 perjanjian dagang baik melalui mekanisme Free Trade Agreement (FTA) maupun Comprehensive Economic Partnership Agreement.
"Sembilan di antaranya telah diimplementasikan, 11 telah ditandatangani dan dalam proses implementasi, sementara sebanyak 13 perjanjian lagi negosiasinya sedang berlangsung," ungkapnya.
Selain itu, dia menyoroti kebijakan pemerintah mendorong keras Omnibus Law atau UU Cipta Kerja memberikan ruang yang sangat luas bagi investasi asing.
Mendorong para pekerja Indonesia menjadi pekerja daring yang belum terlindungi atau pelaku UMKM yang cenderung dibiarkan bersaing dengan barang asing yang dibebaskan masuk, apalagi melalui e-commerce yang menebus sampai ke desa-desa terdalam di Indonesia.
Olisias menyoroti persoalan klasik yang belum juga dibenahi secara baik, seperti korupsi hingga kesiapan aturan perdagangan (pergudangan, distribusi, mekanisme keuangan dan lainnya) masih menjadi PR besar yang seharusnya dikejar pemerintah.
Ia berpendapat bahwa kekuatan modal membuat permainan harga bisa dilakukan dalam jangka waktu tertentu dalam upaya menguasai pasar yang nantinya akan mengontrol harga, serta kemampuan produksi yang tinggi pada sisi lain juga membuat harga produksi menjadi lebih rendah sehingga permainan harga juga bisa dilakukan.
"Liberalisasi pasar membuka peluang ini terjadi, dimana Indonesia menjadi ‘medan perang’ kompetisi produk sebagai salah satu dampak dan konsekuensi penandatanganan berbagai FTA," kata Olisias Gultom.