Sikapi Kepatuhan Prokes dari Perspektif Agama, CSIS Gandeng Kemenag Gelar FGD Lintas Organisasi

Sikapi Kepatuhan Prokes dari Perspektif Agama, CSIS Gandeng Kemenag Gelar FGD Lintas Organisasi
FGD tersebut dipandu oleh Medelina K.Hendytio, (Peneliti Senior sekaligus Wakil Direktur CSIS Indonesia), Riza Awal Novanto, M.Pd (Asisten Peneliti CSIS) dan Haris Burhani, (Analis Kebijakan pada Balitbang Kementerian Agama). Sementara untuk narasumber, CSIS menghadirkan: KH.Wawan Arwani (FKUB Cirebon), Dr.Arief Hidayat Afendi, M.Ag (Akademisi ), M. Natsir Amir (Jurnalis monitorday.com), Fathan Mubarak ( Budayawan Cirebon) dan Tedi MM (LSM Forkoci)/ monitorday.

MONITORDAY.COM - Pandemi Covid- 19 dan upaya penanggulangannya masih menghadapi banyak tantangan, khususnya dari perspektif kepatuhan, perilaku masyarakat dan kebijakan yang berdimensi agama. 

Guna mendalami kompleksitas permasalahan di atas, Center for Strategic and International Studies (CSIS) bekerja-sama dengan Puslitbang Kementerian Agama Republik Indonesia menggelar Focus Group Discussion (FGD) terkait “Kepatuhan dan Ketahanan Masyarakat dalam Konteks Agama dan Ruang Publik di Era Pandemi Covid-19” di Hotel Patra Cirebon, Selasa (28/9/2021).

FGD tersebut dipandu oleh Medelina K.Hendytio, (Peneliti Senior sekaligus Wakil Direktur CSIS Indonesia), Riza Awal Novanto, M.Pd (Asisten Peneliti CSIS) dan Haris Burhani, (Analis Kebijakan pada Balitbang Kementerian Agama). Sementara untuk narasumber, CSIS menghadirkan: KH.Wawan Arwani (Forum Kerukukunan Umat Beragama/FKUB Cirebon), Dr.Arief Hidayat Afendi, M.Ag (Akademisi UMC ), M. Natsir Amir (Jurnalis monitorday.com), Fathan Mubarak (Budayawan Cirebon) dan Tedi M.M (LSM Forkoci)

Diskusi menguak sejumlah fakta seputar dinamika memahami ketidak- patuhan/kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan ditinjau dari dimensi agama. Selain itu, studi membahas mengenai apakah agama selama ini dilihat sebagai modalitas atau justru faktor penghambat dalam upaya menanggulangi Covid-19 ini. 

Medelina mengawali paparannya dengan menyoroti perihal kajian ilmiah kedokteran yang tampaknya tidak cukup menyadarkan masyarakat untuk mematuhi prokes. Untuk itu, diperlukan pendekatan yang lebih holistik untuk memahami perilaku kesehatan masyarakat yang didasari setting atau konteks sosial dan kultural.

Konteks tersebut perlu dipahami agar dapat memitigasi maupun mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menghambat intervensi-intervensi kesehatan yang nanti akan diimplementasikan.

"Dengan kata lain, ada permasalahan doktrinal dan keimanan yang dapat mendukung dan juga menghambat penanganan Covid-19 karena berdampak pada kepatuhan dan ketidak patuhan masyarakat," tutur Medelina.

Selanjutnya, Haris Burhani dari Balitbang Kemenang juga melemparkan diskursus bahwa seringkali ditemui anggapan bahwa bagaimana masyarakat melihat pandemi Covid-19 sebagai sebuah takdir atau kehendak Tuhan.

Pemahaman yang keliru dan mengabaikan epistemologis ilmu pengetahuan (science) ini tentu saja akan berdampak terhadap sikap, pola pikir, dan keputusan masyarakat dalam mempraktikkan ritual-ritual keagamaan seperti salat berjamaah, beribadah ke gereja atau ke pura dan lain sebagaianya.

Wawan Arwani (FKUB Cirebon) menilai fungsi agama adalah mempertahankan kohesi sosial. Secara tidak langsung, dalam konteks ini, agama adalah salah satu medium yang dapat dijadikan sandaran bagi setiap individu dalam mengeliminasi persoalan kehidupan, seperti kasus penyebaran Covid-19 yang mampu memunculkan tekanan sosial dalam sistem kehidupan bermasyarakat.

Seturut dengan hal tersebut, Dr.Arief Hidayat Afendi, M.Ag (Akademisi UMC) memandang agama juga perlu dilihat sebagai salah satu solusi untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Ada dua dimensi penting untuk melihat peran agama dalam konteks pandemi saat ini.

Pertama, dari aspek filosofi dan substansi keagamaan, masyarakat perlu memahami dan mendapatkan penjelasan bagaimana menginterpretasikan ajaran dan praktik keagamaan yang benar untuk mendukung hidup sehat atau menerapkan protokol kesehatan yang tepat dan ketat.

Ironisnya, kata Natsir Amir (Jurnalis monitorday.com),  sampai saat ini masih banyak dijumpai ‘pembangkangan-pembangkangan’ dan ketidak patuhan masyarakat dengan ‘dalih agama’. Dengan kata lain, masih dijumpai adanya kekeliruan logika (logical fallacy) terkait pemahaman agama.

Sebagai contoh minor, misalnya, muncul ketidaktahuan bahwa upaya mencegah penyebaran wabah itu penting dilakukan secara kolektif dan munculnya penafsiran yang berbeda tentang arti wabah.

" Kadang kita jumpai bahwa masyarakat awam memahami pandemi sebagai cobaan iman bagi umat. Petuah kepasrahan menjadi landasan sikapnya yang santuy menghadapi marabahaya. Bahkan kelakar tentang sosok Dajjal di balik wabah ini juga muncul," ungkap Natsir.

Kesempatan yang sama, Fathan Mubarak ( Budayawan Cirebon) meneropong wabah pandemi covid-19 seperti ini tentunya mengubah nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat yang berdampak pada perubahan pola pikir, pandangan, serta sikap masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selalu menggunakan masker, rajin mencuci tangan menggunakan sabun, siap sedia handsanitizer, menjaga jarak, menghindari kerumunan massa, menghindari kontak fisik dengan orang lain, dan penerapan berbagai protokol kesehatan telah menjadi kebiasaan.

Kondisi-kondisi seperti di atas menjadikan hubungan sosial manusia sebagai makhluk sosial menjadi “cacat”. Bagaimana tidak? manusia sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, kini dikarenakan pandemi memaksa mereka harus menjadi manusia egois, yang hanya memikirkan diri sendiri dan orang terdekatnya untuk dapat bertahan hidup.

Dikatakan egois apabila seseorang tersebut mengambil kesempatan atas kondisi yang ada untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya tanpa memikirkan dampaknya bagi orang lain. Seperti kasus kepanikan sosial di awal-awal munculnya virus corona, dimana banyak oknum yang melakukan penimbunan masker dan handsanitizer yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian materi maupun non materi bagi orang lain.

Selanjutnya, Tedi MM (Forkoci) menanggapi pendapat Budayawan Lokal tersebut. Menurut Tedi, bicara soal pandemi, tidak hanya mengguncang aspek sosial, pandemi ini juga mengakibatkan perubahan kebiasaan dalam masyarakat. Semenjak semakin tingginya angka kasus covid-19 ini mengakibatkan banyak orang menjadi “gila media sosial”. Hampir setiap saat mereka selalu update mengenai informasi wabah covid-19 yang melanda negeri ini.

Penggunaan internet atau media sosial tidak hanya mereka gunakan untuk mengupdate informasi, namun juga untuk kepentingan sekolah, kuliah, dan pekerjaan. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan budaya masyarakat, dari yang sebelumnya non virtual bergeser ke arah budaya masyarakat virtual, yakni masyarakat yang aktivitas sosialnya dilakukan secara virtual menggunakan media sosial.

Namun demikian, pandemi ini juga mengajarkan banyak hal. Terganggunya kehidupan dan aktivitas sosial masyarakat ini harus kita sikapi secara positif. Karena bagaimanapun, yang terpenting adalah kita mampu mensyukuri apa yang terjadi dengan selalu menjaga kesehatan agar terhindar dari virus corona yang kini melanda.

Di penghujung diskusi, setiadaknya ada sejumlah fakta menarik terkait faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat di masa Covid-19 dari perspektif agama. Selain itu, FGD mampu mengungkap indikator-indikator yang menghambat atau mendukung upaya aktor-aktor agama untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan protokol kesehatan dan vaksinasi dalam konteks ruang publik (civic space). 

Adanya pemahaman kemampuan/kapasitas aktor-aktor agama khususnya di tingkat lokal dalam mengkomunikasikan dan meningkatkan kepatuhan dan ketahanan masyarakat terhadap protokol kesehatan dan vaksinasi dalam lingkup ruang publik.

Kemudian, memahami bagaimana éngagement´antara pemerintah dengan elemen masyarakat sipil, penyuluh agama dan organisasi/institusi keagamaan dalam lingkup ruang publik selama ini terbentuk, misalnya melalui dialog publik untuk membahas tantangan dan solusi penanganan Covid-19 khususnya dalam perspektif kebijakan.

Yang tak kalah menarik, FGD memberi kontribusi untuk memperkuat sekaligus menyempurnakan kebijakan- kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan keterbukaan ruang publik, khususnya dalam konteks peningkatan efektivitas komunikasi dan interaksi aktor-aktor lintas agama dengan masyarakat sipil.

FGD ini pun juga menyuguhi catatan kritis terhadap regulasi-regulasi/aturan- aturan yang selama ini diimplementasikan untuk mendukung kepatuhan masyarakat dalam lingkup ruang publik.