SBY Kritik Kampanye Prabowo, TKN: Pandangan Ini Bisa Jadi Rujukan Pemilih
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengkritik kampanye Akbar Paslon 02, Minggu (7/4). Ia menilai, Kampanye yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, tidak lazim dan tidak inklusif.

MONITORDAY.COM - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengkritik kampanye Akbar Paslon 02, Minggu (7/4). Ia menilai, Kampanye yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta, tidak lazim dan tidak inklusif.
Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi Ma'ruf, Raja Juli Antoni menyatakan setuju dengan ungkapan SBY Tersebut, Ia menilai, pandangan tersebut bisa dijadikan rujukan oleh pemilih.
"Saya setuju dengan Pak SBY kali ini. Sebagai mantan presiden, pandangan Pak SBY ini patut dijadikan rujukan bagi parah pemilih,” kata Toni, dalam keterangan terrulisnya, Minggu, (7/4).
Sekjen DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini menilai, sejak awal sebenarnya Prabowo-Sandi memang sudah melakukan strategi politik yang tidak lazim dan tidak inklusif. “Itu sudah tejadi sejak awal sebenarnya. Sejak awal Prabowo mempolitisasi agama untuk memperkuat basis politiknya,” tutur Toni.
Menurut Toni, strategi politik tak lazim dan tidak inklusif itu sudah terlihat di kubu Prabowo ketika diselenggarakannya ijtimak ulama. Menurutnya, langkah itu dilakukan untuk mencitrakan Prabowo sebagai capres pilihan umat Islam.
“Jadi sejak awal pencalonan Prabowo tidak lazim dalam konteks negara berdasarkan Pancasila. Tidak inklusif, tidak merepresentasikan kebhinnekaan kita,” ucapnya.
Toni menambahkan, bahwa politik inklusif yang dimainkan kubu Prabowo-Sandi itu tidak akan mampu memengaruhi masyarakat. Pasalnya, menurut dia, masyarakat di Indonesia saat ini sudah mampu memilah dengan baik di antara kedua paslon capres-cawapres tersebut.
Lebih lanjut, Toni mengatakan, bahwa rakyat saat ini sudah cerdas. Mereka tahu siapa ulama sebenarnya, mana ulama yang abal-abal. Mana yang tulus merangkul umat, mana yang hanya memanfaatkan suaranya demi kekuasaan.
"Rakyat juga sudah tahu siapa presiden yang menjalankan perintah agama dan mana presiden yang hanya salat subuh untuk kampanye saja,” pungkas Toni.
Sebelumnya, SBY mengkritik model kampanye Prabowo Sandi melalui surat yang ditujukan untuk pimpinan partai Demokrat. Berikut isi lengkap suratnya:
Kepada yang terhormat
1. Ketua Wanhor PD Amir Syamsudin
2. Waketum PD Syarief Hassan
3. Sekjen PD Hinca Panjaitan
Bismilahirrahmanirrahim
Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Salam Sejahtera
Salam Demokrat !
Sebenarnya saya tidak ingin mengganggu konsentrasi perjuangan politik jajaran Partai Demokrat di tanah air, utamanya tugas kampanye pemilu yang tengah dilakukan saat ini, karena terhitung mulai tanggal 1 Maret 2019 yang lalu saya sudah memandatkan dan menugaskan Kogasma dan para pimpinan partai untuk mengemban tugas penting tersebut. Sungguhpun demikian, saya tentu memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan agar kampanye yang dijalankan oleh Partai Demokrat tetap berada dalam arah dan jalur yang benar, serta berlandaskan jati diri, nilai dan prinsip yang dianut oleh Partai Demokrat. Juga tidak menabrak akal sehat dan rasionalitas yang menjadi kekuatan partai kita.
Sore hari ini, Sabtu, tanggal 6 April 2019 saya menerima berita dari tanah air tentang "set up", "run down" dan tampilan fisik kampanye akbar atau rapat umum pasangan capres-cawapres 02, Bapak Prabowo Subianto-Bapak Sandiaga Uno, di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Karena menurut saya apa yang akan dilakukan dalam kampanye akbar di GBK tersebut tidak lazim dan tidak mencerminkan kampanye nasional yang inklusif, melalui sejumlah unsur pimpinan Partai Demokrat saya meminta konfirmasi apakah berita yang saya dengar itu benar. Malam hari ini, saya mendapat kepastian bahwa informasi yang didapat dari pihak lingkaran dalam Bapak Prabowo, berita yang saya dengar itu mengandung kebenaran.
Sehubungan dengan itu, saya minta kepada Bapak bertiga agar dapat memberikan saran kepada Bapak Prabowo Subianto, Capres yang diusung Partai Demokrat, untuk memastikan hal-hal sebagai berikut:
Penyelenggaraan kampanye nasional (dimana Partai Demokrat menjadi bagian didalamnya) tetap dan senantiasa mencerminkan "inclusiveness", dengan sasanti "Indonesia Untuk Semua" Juga mencerminkan kebhinekaan atau kemajemukan. Juga mencerminkan persatuan. "Unity in diversity". Cegah demonstrasi apalagi "show of force" identitas, baik yang berbasiskan agama, etnis serta kedaerahan, maupun yang bernuansa ideologi, paham dan polarisasi politik yang ekstrim.
Pemilihan Presiden yang segera akan dilakukan ini adalah untuk memilih pemimpin bangsa, pemimpin rakyat, pemimpin kita semua. Karenanya, sejak awal "set up"nya harus benar. Mindset kita haruslah tetap "Semua Untuk Semua" , atau "All For All". Calon pemimpin yang cara berpikir dan tekadnya adalah untuk menjadi pemimpin bagi semua, kalau terpilih kelak akan menjadi pemimpin yang kokoh dan insya Allah akan berhasil. Sebaliknya, pemimpin yang mengedepankan identitas atau gemar menghadapkan identitas yang satu dengan yang lain, atau yang menarik garis tebal "kawan dan lawan" untuk rakyatnya sendiri, hampir pasti akan menjadi pemimpin yang rapuh. Bahkan sejak awal sebenarnya dia tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin bangsa. Saya sangat yakin, paling tidak berharap, tidak ada pemikiran seperti itu (sekecil apapun) pada diri Pak Jokowi dan Pak Prabowo.
Saya pribadi, yang mantan Capres dan mantan Presiden, terus terang tidak suka jika rakyat Indonesia harus dibelah sebagai "pro Pancasila" dan "pro Kilafah". Kalau dalam kampanye ini dibangun polarisasi seperti itu, saya justeru khawatir jika bangsa kita nantinya benar-benar terbelah dalam dua kubu yang akan berhadapan dan bermusuhan selamanya. Kita harus belajar dari pengalaman sejarah di seluruh dunia, betapa banyak bangsa dan negara yang mengalami nasib tragis (retak, pecah dan bubar) selamanya. The tragedy of devided nation. Saya pikir masih banyak narasi kampanye yang cerdas dan mendidik. Seperti yang kita lakukan dulu pada pilpres tahun 2004, 2009 dan 2014. Bangsa kita sangat majemuk. Kemajemukan itu di satu sisi berkah, tetapi disisi lain musibah. Jangan bermain api, terbakar nanti.
Para kader pasti sangat ingat, Partai Demokrat adalah partai Nasionalis-Relijius. Bagi kita Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika adalah harga mati. Tidak boleh NKRI menjadi Negara Agama ataupun Negara Komunis. Indonesia adalah "Negara Pancasila" dan juga "Negara Berke-Tuhanan". Inilah yang harus diperjuangkan oleh Partai Demokrat, selamanya.
Saya berpendapat bahwa juga tidak tepat kalau Pak Prabowo diidentikkan dengan kilafah. Sama tidak tepatnya jika kalangan Islam tertentu juga dicap sebagai kilafah ataupun radikal. Demikian sebaliknya, mencap Pak Jokowi sebagai komunis juga narasi yang gegabah. Politik begini bisa menyesatkan. Sejak awal harusnya narasi seperti ini tidak dipilih. Tetapi sudah terlambat. Kalau mau, masih ada waktu untuk menghentikannya.
Dari pada rakyat dibakar sikap dan emosinya untuk saling membenci dan memusuhi saudara-saudaranya yang berbeda dalam pilihan politik, apalagi secara ekstrim, lebih baik diberi tahu , apa yang akan dilakukan Pak Jokowi atau Pak Prabowo jika mendapat amanah untuk memimpin Indonesia 5 tahun mendatang (2019-2024). Apa solusinya, apa kebijakannya? Tinggalkan dan bebaskan negeri ini dari benturan identitas dan ideologi yang kelewat keras dan juga membahayakan. Gantilah dengan platform, visi, misi dan solusi. Tentu dengan bahasa yang mudah dimengerti rakyat. Sepanjang masa kampanye, bukan hanya pada saat debat saja.
Demikian Pak Amir, Pak Syarief dan Pak Hinca pesan dan harapan saya. Ketika saya menulis pesan ini, saya tahu AHY berada dalam penerbangan dari Singapura ke Jakarta, setelah menjenguk Ibu Ani yang masih dirawat di NUH. Partai Demokrat harus tetap menjadi bagian dari solusi, dan bukan masalah. Selamat berjuang, Tuhan beserta kita.
Wassalamualaikumwarahmatullahiwabarakatuh.
Singapura, 6 April 2019
Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono