Satu Malam Di Baduy Dalam.
“sebuah perjalanan ke suatu tempat, bisa jadi adalah sebuah titik balik bagi pencerahan jiwa seseorang”
MONITORDAY.COM - Tulisan ini adalah catatan perjalanan penulis bersama Kerabat Kawruh Budhi selama dua hari satu malam di Cibeo, salah satu dari tiga kampung Suku Baduy Dalam. Urang Kanekes yang tersembunyi di kaki Gunung Kendeng dimana tradisi leluhur masih terjaga ketat dari generasi ke generasi. Nyaris tak tercemar oleh hiruk-pikuk dunia luar.
Adalah Eka Satria Zamani, seorang praktisi psychotherapy yang memprakarsai perjalanan kali ini. Termotivasi oleh kepergiannya beberapa tahun lalu, Eka Satria berniat akan mengunjungi Urang Kanekes setiap tahun. “Saya mengalami perjalanan spiritual enam tahun lalu, sejak itu selama masih sehat akan ke Kanekes setiap tahun”, tegas Eka.
Beranggotakan dua puluh orang, tepat pukul tujuh pagi, Kerabat Kajian Kawruh Budhi melaju dengan tiga kendaraan roda empat meninggalkan kebisingan. Menembus ratusan kilo meter dari tol Fatmawati Jakarta menuju Banten. Ke tempat dimana kearifan leluhur memanggil untuk disambangi.
Kerabat Kajian Kawruh Budhi sendiri, menurut Eka Satria , “adalah pengkajian untuk mempelajari Javanesse Wisdom (Nusantara Wisdom) bukan semata sebagai informasi tetapi bagaimana mengimplementasikannya dalam hidup keseharian”.
Pukul 13.30 WIB kami sampai di destinasi kendaraan bermotor terakhir, terminal mini Cijahe. Setelah sebelumnya sempat transit di sekitar Ciboleger untuk makan siang. Beberapa warga Kampung Cibeo sudah menunggu. Sebuah sambutan dari tuan rumah sekaligus pendamping perjalanan. Mendampingi legal tour guide kami, Bang Ahmad (profil bisa dilihat di blog Sahabat Budaya Indonesia).
Cijahe adalah rute terdekat menuju Baduy Dalam. Selama dua jam kami berjalan kaki menerobos jalan setapak, jembatan bambu, beberapa perkampungan Baduy Luar, ladang, dan….hujan. Semakin mendekati Cibeo jalan semakin alami, becek dan licin.
Setiba di ujung titian jembatan Muara Cipicung, batas terluar area Baduy Dalam, terlarang untuk mengambil foto. Kamera dan HP harus sudah dalam mode switch off. Selain itu beberapa larangan lain wajib dipatuhi, yaitu : tidak membawa gitar, tidak membuang sampah sembarangan, tidak menggunakan sabun, sampo, pasta gigi, tidak teriak-teriak, tidak boleh bernyanyi keras, tidak membawa minuman keras, tidak menebang pohon sembarangan, dan tidak membawa senapan.
Hujan lebat, mengantarkan kami memasuki area rimbun pohon besar dan rumpun perdu. Lamat-lamat terlihat sebuah perkampungan dengan rumah-rumah panggung saling berdekatan. Sungai melingkar, jembatan bambu seukuran satu tubuh dirakit hanya dengan bambu dan tali. Paku adalah benda terlarang di sini. Kami tiba di Kampung Cibeo dalam temaram senja pukul empat sore.
Malam tiba. Hujan sore meninggalkan aroma tanah yang khas. Tidak ada lampu, Baduy Dalam “tidak mau” menerima listrik negara. Penerangan adalah lentera terbuat dari kain dan minyak dalam sepotong bambu. Beberapa teman membawa lampu senter, lumayan membantu meski tak mampu menerangi seluruh sisi rumah panggung itu. Ajaibnya, tidak ada rasa mengeluh, serentak kami menyatu dengan kegelapan yang mengepung dari semua penjuru. Hanya di dalam rumah cahaya temaram memancar.
Makan malam digelar, kami bersantap serasa merayakan kemenangan sehabis pertempuran. Apa saja terasa nikmat. Setelahnya semua membentuk formasi duduk melingkar, ngariung. Saatnya sesi ramah tamah dengan tanya jawap antara tamu dan tuan rumah. Berikut adalah rangkuman beberapa poin mengenai adat dan tradisi Baduy Dalam:
- Sistem Adat : Kepala adat tertinggi Suku Baduy disebut Pu’un. Dibawah Pu’un terdapat Jaro. Pu’un diyakini sebagai pemimpin yang memiliki kelebihan yang tugasnya adalah; menentukan masa tanam dan masa panen, mengobati warga suku yang sakit dan menentukan hukum adat .
- Sistem Perkawinan: Perkawinan terjadi melalui proses perjodohan antar orang tua. Anak hanya boleh menolak calon suami atau istri hanya jika proses perjodohan belum berlangsung secara adat. Setelah menikah pasangan suami-istri terlarang bercerai. Jika perceraian terjadi maka sangsi adatnya adalah harus keluar dari Baduy Dalam dan menjadi warga Baduy Luar.
- Sistem Pendidikan Anak : Tidak ada sekolah formal di tradisi Baduy Dalam. Anak akan dididik olah orang tuanya sampai usia 10 tahun. Ibu adalah guru bagi anak perempuan yang mengajarkan semua pekerjaan yang dilakukan sang ibu seperti memasak dan membuat baju sendiri. Anak laki-laki akan dilatih sang ayah mencari nafkah seperti berladang, berdagang hasil bumi, membangun rumah atau menjadi pendamping perjalanan seperti ayah.
- Sistem Kepemilikan Tanah : Tanah adalah tanah adat setiap keluarga berhak mengolah tetapi tidak berhak diperjual-belikan.
- Sistem Pertanian : Dalam penggarapan tanah untuk bercocok tanam dilarang menggunakan pupuk kimia atau buatan pabrik. Panen hanya satu kali dalam satu tahun. Khusus padi hasil panen, tidak boleh dijual tetapi wajib disimpan di dalam lumbung untuk persediaan masa panjang. Itu sebabnya di Baduy Dalam terdapat lumbung-lumbung penyimpan padi yang sudah berusia bahkan sampai 50 tahun.
- Suku Baduy Dalam dilarang menggunakan kendaraan bermotor dalam bentuk apapun. Hanya diperbolehkan berjalan kaki walau pergi ke tempat yang jauh dan membutuhkan waktu berhari-hari misalnya, ke Jakarta dengan jarak sekitar 135 km mereka tempuh dalam waktu 2 sampai 3 hari. Pelanggaran dalam hal ini adalah fatal, hukumannya dikeluarkan dari Baduy Dalam.
- Sistem Gotong Royong : Gotong royong mewarnai hampir semua siklus hidup urang Kanekes. Misalnya dalam proses pembangunan rumah mereka lakukan secara bersama dan serempak serta harus selesai dalam waktu dua hari. Hebat ya? Padahal rumah-rumah Baduy Dalam dibangun tanpa menggunakan paku apalagi semen. Bahan utamanya adalah bambu yang diikat dengan tali rotan.
- Cara berpakaian : Dari cara berpakaian kita dapat membedakan mana suku Baduy Dalam dan mana Suku Baduy Luar. Berbeda dengan suku Baduy Luar yang lebih terbuka dan menggunakan lebih dari dua warna (biasanya biru, putih, dan hitam), orang Baduy Dalam hanya diperbolehkan menggunakan warna hitam dan putih untuk pakaian mereka.
Sebutan Pu’un sebagai pimpinan adat tertinggi Suku Baduy adalah sosok yang tidak bisa dijumpai oleh sembarang orang. Tugas pengelolaan kampung yang bersifat administrasi kemasyarakatan serta hubungan dengan dunia luar dipegang oleh para Jaro. Pu’un lebih condong kepada hal-hal yang bersifat spiritualitas. “Pu’un ketitipan alam semesta, tidak terbatas untuk Baduy atau Urang Kanekes saja”.
Karena dipercaya sebagai orang yang mempunyai “kelebihan” yang biasanya didapat secara temurun ( pada umumnya seorang Pu’un lahir dari keluarga yang jika ditarik silsilah ke atas adalah bisa cucu, atau cicit, bahkan anak dari Pu’un terdahulu ), selain menjadi tempat mencari jawab berbagai masalah kehidupan bagi warganya, bukan suatu gosip bahwa Pu’un juga menjadi “jawaban solusi” bagi orang-orang dari dunia luar Baduy. Untuk urusan satu ini, “orang luar” biasanya mempunyai jalur khusus dan harus membuat janji jauh-jauh hari melalui perantara Jaro atau orang terdekat atau terpercaya Pu’un.
Suatu keberuntungan, beberapa orang Kerabat Kajian Kawruh Budhi, dijembatani oleh jaro dan bang Ahmad, bisa menghadap dan berdialog dengan Pu’un kampung Cibeo di hari itu.
Ada syarat khusus? Ada. Saat bertemu Pu’un seseorang harus membawa kain putih ukuran tertentu, kemenyan, minyak wangi serta mahar berupa uang seikhlasnya. Jangan khawatir, untuk syarat-syarat itu sang mediator akan membantu untuk pengadaannya.
Apa saja yang bisa “dimintai tolong” dari seorang Pu’un? Banyak yang datang untuk mohon doa agar dilancarkan usaha, jodoh, mendapatkan keturunan, karir, sukses di partai dan politik bahkan tak sedikit yang berobat untuk kesembuhan suatu penyakit, kena santet misalnya.
Malam makin larut. Tuan rumah dan tamu terlelap, hanya beberapa yang masih khusuk meresapi dan merayakan kenikmatan bernafas diudara murni. Senyap. Andai saja boleh berlama-lama di sini. Andai saja boleh beberapa hari lagi di sini. Menimba ilmu di tempat dimana tidak ada kata SEKOLAH.
Fajar datang, waktu menjelang pukul 8 pagi. Hampir semua Kerabat Kawruh Budhi sudah selesai mandi di sungai dan mata air nan jernih. Saking jernihnya, baru sadar bahwa air minum dan air untuk memasak selama di sini adalah air yang diambil dari sungai . Para wanita sambil mandi dan mencuci, meletakkan bambu mirip kentongan ronda di kota. Dengan bambu itu air ditampung , dibawa ke rumah, dimasukan ke dalam penampungan air dekat perapian, di pojok dapur. Segar. Shampo, sabun dan pasta gigi tak mencemari sumber mata air dan alam. Sebagai pembersih, mereka menggunakan honje atau kecombrang saat mandi. Tubuh wanita Baduy harum rempah sehabis pulang dari sungai.
Kearifan Baduy Dalam, keteguhan menjaga tradisi leluhur, adalah mata air jernih ditengah rasa kehausan. Semoga keheningan ini bisa kami bawa pulang sampai ke rumah. Atau, mungkin juga sebenarnya kami yang baru saja pulang ke rumah asli kami? Rumah Baduy Dalam, Urang Tangtu, Urang Kanekes.
Kami akan kembali. Pulang ke Kanekes.
Rahayu…Rahayu…Rahayu….