Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo Resmi Berstatus Tersangka

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo Resmi Berstatus Tersangka
Konferensi pers penetapan tersangka kasus suap ekspor benur.

MONITORDAY.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan ekspor benih lobster atau benur.

"KPK menetapkan total tujuh orang tersangka dalam kasus ini. EP (Edhy Prabowo) sebagai penerima," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (25/11/2020)

Selain Edhy, KPK menetapkan lima orang lainnya sebagai penerima suap yakni dua orang staf khusus Menteri KKP Safri dan Andreau Pribadi Misanta, pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi, staf istri Menteri KKP Ainul Faqih dan Amiril Mukminin (AM).

"(Tersangka) pemberi suap SJT (Suharjito/Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama)," kata Nawawi.

Kasus ini bermula ketika Edhy pada 14 Mei 2020 menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Pihak yang hendak menjadi eksportir benur harus memenuhi penilaian Tim Uji Tuntas sebagaimana yang tertera dalam surat keputusan itu.

Tim Uji Tuntas dipimpin oleh Andreau Pribadi Misata sebagai ketua pelaksana, dan Safri selaku wakil ketua. Tim Uji Tuntas kemudian memutuskan ekspor benih lobster hanya bisa dilakukan oleh PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

Pada awal Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito datang ke kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk bertemu Safri. PT DPPP hendak menjadi eksportir benur.

"Dalam pertemuan tersebut diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp 1800 per ekor," kata Nawawi Pomolango.

Supaya diterima sebagai eksportir benur, PT DPPP melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp 731.573.564. Selain dari PT DPPP, rekening PT ACK yang dipegang oleh Amri dan Ahmad Bahtiar, diduga calon yang diajukan pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja, juga menampung uang dari perusahaan-perusahaan lainnya yang berminat menjadi eksportir benur.

"Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar, masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar," kata Nawawi.

Pada 5 November 2020, dilakukan transfer dari rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank milik Ainul Faqih sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan untuk keperluan Edhy Prabowo dan istrinya bernama Iis Rosyati Dewi, stafsus Edhy bernama Safri, dan stafsus Edhy bernama Andreau Pribadi Misata. Uang Rp 3,4 miliar itu kemudian dipakai untuk belanja sejumlah barang di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS).

"Penggunaan belanja oleh EP dan IRW di Honolulu AS ditanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sekitar Rp 750 juta," imbuh Nawawi.

Selain itu, pada sekitar bulan Mei 2020, Edhy juga diduga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100 ribu dari Suharjito. Uang diserahterimakan melalui dua staf Edhy, Safri dan Andreau Pribadi.

Selain itu Safri dan Andrea pada sekitar bulan Agustus 2020 menerima uang dengan total Rp 436 juta dari Amiril Mukminin.

Edhy dan lima tersangka penerima suap disangkakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sedangkan Suharjito sebagai pemberi suap disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[]