Refleksi 2 Tahun Pandemi, Guru Besar UGM Sebut Muhammadiyah Perlu Kembangkan Adaptive Capacity

MONITORDAY.COM - Pandemi Covid-19 belum juga usai, hingga hari ini hampir genap 2 tahun kita menjalaninya. Ada sejumlah catatan yang mewarnai dan kita rasakan selama dua tahun menjalani hidup dalam situasi pandemi.
Di sektor ekonomi, kita saksikan betapa Covid-19 telah memukul banyak sekali institusi bisnis. Bagi yang cepat melakukan pivot bisnis, paling bantar efeknya sekadar efisiensi (mengurangi karyawan). Tapi yang bingung dan terlambat, sampai harus menutup usahanya.
Persoalan turunan lantas muncul; seperti pengangguran dan kemiskinan yang meningkat tajam. Data BPS per Agustus 2021, terdapat 21,32 juta orang yang terdampak Covid-19. Sejumlah 1,82 juta orang diantaranya menganggur karena Covid-19 dan 17,41 juta yang mengalami pengurangan jam kerja.
Di aras kehidupan sosial, kita juga menyaksikan bagaimana kriminalitas meningkat sangat tajam. Pun demikian dengan tingkat stress dan munculnya penyakit masyarakat yang meningkat tajam sekali.
Tak ketinggalan, Covid-19 juga berpengaruh besar secara politik. Tingkat kepercayaan masyarakat (public distrust) terhadap penguasa mengalami penurunan signifikan. Survei terbaru IPO menyebutkan, kepuasaan pada kinerja presiden merosot, jika pada Agustus 2021 mencapai 52 persen, kini hanya tinggal 51 persen.
Penurunan kepercayaan publik ini pun lantas mendorong orang untuk melakukan protes dan gerakan sosial. Setidaknya, terlihat dari aktivitas di media sosial.
Menurut Guru Besar Sosiologi UGM, Sunyoto Usman, selama pandemi baik pemerintah maupun civil society sejatinya mengalami persoalan yang sama. Keduanya gagap merespon pandemi. Tentu saja, kata Sunyoto, ini lantaran Covid-19 merupakan barang baru.
“Covid-19 adalah kejadian baru, tak pernah ada presedennya kapan dan di mana pun. Karena itu semua orang panik dan gagap ketika meresponnya,” ujar Sunyoto ketika menjadi pembicara dalam Acara Refleksi 2 Tahun Pandemi bertajuk ‘Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dalam Penanganan Pandemi Covid-19’ yang dihelat secara virtual pada Selasa (28/12) siang.
Karena itu, menurut dosen yang pernah mementori Gus Yahya ini, Muhammadiyah sebagai civil society perlu menumbuhkan adaptive capacity. Tentu saja, kata dia, tak cuma dalam artian hidup berdampingan dengan pandemi (new normal), namun juga dibarengai dengan security domain atau kemampuan mengidentifikasi efek negatif Covid-19 dan menemukan solusinya.
“Kita harus terus dibiasakan hidup dengan pandemi. Karena kita belum tahu kapan akan berakhir. Muhammadiyah selama dua tahun terakhir telah membantu pemerintah untuk melakukan upaya kuratif dan prepentif di tingkat mikro,” ujarnya.
Pengembangan adaptive capacity yang dilakukan Muhammadiyah, menurut Sunyoto, menjadi sangat penting karena setting upaya ini tidak hanya tergantung pada sisi kewilayahan saja. Melainkan juga setting banyak sektor, modernitas, kelas, dan status sosial.
“Harus dilihat dulu historical background dan intensitas perubahannya akibat Covid-19. Karena sebetulnya dasein dan das sollen-nya tidak sama antar satu dan lainnya,” kata Sunyoto.
Upaya lain yang bisa dilakukan Muhammaidyah agar adaptive capacity ini berkembang adalah salah satunya dengan mengubah perspektif masyarakat soal Covid-19. Bahwa pandemi Covid-19 adalah disebabkan oleh virus (medis), bukan kutukan (metafisik).
“Hal ini dibuktikan dengan adanya data empirik baik soal virus itu sendiri maupun terkait perkembangan penyebaran Covid-19 harian,” ungkapnya.
Pada akhirnya, adaptive capacity Muhammadiyah harus disesuaikan dengan perubahan terbaru yang terjadi, terutama di era digital. Ini perlu dilakukan, lantaran perubahan kian komplek, jaringan kian luas dan mudah. Budaya internet kita saat ini juga mengarah pada realitas virtual, sehingga Literasi digital future sangat diperlukan. [ ]