Program Guru Penggerak Relevan dengan Kebutuhan Transformasi Pembelajaran

MONITORDAY.COM - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah memulai program Guru Penggerak, sebagai upaya meningkatkan kualitas pembelajaran.
Lewat program yang menjadi bagian dari paket kebijakan Merdeka Belajar ini, Pemerintah berupaya menciptakan guru-guru penggerak yang dapat mewujudkan ekosistem pendidikan yang lebih baik.
Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan menilai, program Guru penggerak tepat untuk dilaksanakan karena dapat memenuhi kebutuhan transformasi dalam pembelajaran.
"Bisa dikatakan efektif karena program pendidikan guru penggerak relevan dengan kebutuhan akan kepemimpinan transformasi pembelajaran," kata Bukik, dalam keterangan tertulis, Rabu (6/9/2021).
Dia menjelaskan, kualitas guru di Indonesia saat ini sangat beragam. Ada sebagian yang mahir, ada yang cukup akrab tapi ada pula yang gagap menggunakan perangkat digital.
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang menjadi penyebabnya, mulai dari akses dan dukungan belajar yang tidak merata, kondisi geografis yang beragam hingga kemauan belajar dari guru sendiri.
Namun pandemi, lanjut Bukik, justru mempercepat tranfromasi yang terjadi pada guru. Lebih dari 63% guru justru mengikuti beragam kegiatan pengembangan diri secara intensif.
"Baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh lembaga pengembangan kompetensi guru, sebagaimana yang dilakukan oleh Yayasan Guru Belajar," lanjutnya.
Meski demikian, kata Bukik, masih butuh waktu dan upaya agar proses pengembangan diri guru tersebut berdampak nyata pada peningkatan kualitas pembelajaran.
Guru Penggerak Wujudkan Transformasi Pembelajaran
Menurut Bukik, Pendidikan guru penggerak merupakan sebuah terobosan untuk menggerakkan transformasi dalam pembelajaran.
"Mengapa terobosan ini penting? Karena selama ini kita telah krisis pembelajaran yang diakibatkan kebijakan yang berorientasi nilai angka selama era ujian nasional berkuasa," jelasnya.
Dia juga menjelaskan, orientasi yang membuat guru dan sekolah menjadi pihak yang tidak dipercaya sehingga perlu dikontrol melalui standar dan prosedur administrasi yang rumit.
"Semakin dikontrol, semakin besar tekanan pada guru dan semakin habis waktu untuk urusan administrasi. Guru semakin lelah, semakin tidak punya energi dan waktu untuk pengembangan diri," tegas dia.
Karena itu, Menurut Bukik, Guru Penggerak dibutuhkan sebagai pemimpin pembelajaran yang membalikkan arah pembelajaran, dari orientasi target atau nilai akhir menjadi berorientasi pada murid (teaching at the right level).
Meski demikian, Bukik menilai, program Guru Penggerak belum cukup memadai dalam mendorong transformasi. Karena itu, dia menyarankan dua hal penting agar transformasi dapat terwujud.
Pertama, Sistem pelatihan digital bagi guru. adalah sistem yang memfasilitasi seluruh guru mengikuti beragam modul yang relevan dalam mengatasi kesulitan pembelajaran di kelas.
Menurut dia, Sistem yang memadai bagi 3 juta guru belajar setidaknya 8 - 10 modul dalam setahun. Sistem ini mendorong populasi guru mengalami setidaknya peningkatan pemahaman secara masif.
"Karena massa yang terdidik, akan membantu pergerakan yang diarahkan oleh pemimpin pembelajaran, yaitu alumni pendidikan guru penggerak," jelasnya.
Kedua, pola interaksi yang konstruktif. adalah pola yang memfasilitasi alumni pendidikan guru penggerak berinteraksi dengan guru pada umumnya secara terbuka, saling mendukung dan menguatkan.
Bukik menjelaskan, Pola interaksi yang konstruktif ini dapat dilakukan secara langsung oleh alumni pendidikan guru penggerak maupun melalui dukungan dari pengawas sekolah.
"Pengawas sekolah yang bertanggung jawab terhadap suatu area tertentu dapat memastikan distribusi pembelajaran tersebar merata pada areanya. Tidak ada satu pun guru yang tertinggal," pungkas Bukik.