Poin Penting Struktural Ketentuan PPN Dalam UU HPP

MONITORDAY.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pada (29/10/2021) lalu.
Ketentuan ini terdiri dari sembilan bab itu memiliki enam ruang lingkup pengaturan, yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta Cukai.
Lalu, UU HPP juga mengatur dua hal utama yaitu asas dan tujuan. UU ini diselenggarakan berdasarkan asas keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional.
Berikut poin-poin struktural pada ketentuan PPN (Pasal 44E) pada UU HPP:
1. Pengurangan Objek dan Fasilitas PPN
• Fasilitas pembebasan PPN diberikan terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya. Masyarakat berpenghasian menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial.
• Pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN diberikan agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran, serta dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha.
• Pengaturan kembali barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN, meliputi makanan/minuman karenamerupakan objek PDRD, uang/emas batangan/SBN, jasa keagamaan, jasa kesenian/hiburan objek PDRD, jasa perhotelan objekPDRD, jasa pemerintahan, jasa parkir objek PDRD,
dan jasa boga/catering objek PDRD.
• Pengaturan kembali rincian kriteria fasilitas PPN, semula terdapat 15 kriteria fasilitas PPN, menjadi 10 kriteria fasilitas PPN.
• Pengaturan ini dimaksudkan untuk perluasan basis PPN dengan tetap mempertimbangkan asas keadilan, asas kemanfaatan khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional. Tujuan kebijakan ini yaitu optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.
2. Kenaikan Tarif PPN
• Tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata tarif global (15,4%), negara OECD (19%) atau negara BRICS (17%).
• Kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10% menjadi 11% dan kemudian 12% ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara dalam memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini yaitu dalam rangka mengatasi dampak pandemi Covid 19 dalam bentuk vaksin, bantuan sosial, dan lain-lain.
3. Kemudahan dan Kesederhanaan
• Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung dan menyetor jumlah pajak, dapat dilakukan dengan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
• Untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, PKP dapat menghitung dan menyetor jumlah pajak dengan cara menggunakan besaran tertentu serta dengan mekanisme yang disederhanakan bagi PKP yang peredaran usahanya tidak melebihi jumlah tertentu dan yang melakukan kegiatan usaha tertentu.
• Untuk kemudahan dalam pemungutan PPN, atas jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu diterapkan tarif PPN 'final' misalnya 1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha, yang diatur dengan PMK.
4. Pengkreditan Pajak Masukan
• Apabila dalam suatu Masa Pajak PKP melakukan penyerahaan yang terutang pajak (dan PMnya dapat dikreditkan), dan juga melakukan penyerahan terutang pajak (dan PM yang berkenaan dengan penyerahan tidak dapat dikreditkan), maka apabila bagian penyerahan yang terutang pada Pmnya dapat dikreditkan) dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah PM yang dikreditkan merupakan PM yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak (dan PMnya dapat dikreditkan).
• Apabila dalam suatu Masa Pajak PKP melakukan penyerahan yang terutang pajak (dan PM yang berkenaan dengan penyerahannya dapat dikreditkan), dan juga melakukan penyerahan yang terutang pajak (dan PM yang berkenaan dengan penyerahannya tidak dapat dikreditkan), dan atau penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan PM sehubungan dengan penyerahan yang terutang pajak (dan Pmnya dapat dikreditkan) tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah PM yang dapat dikreditkan dihitung dengan pedoman pengkreditan PM.
• Pengkreditan Pajak Masukan tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
5. Pendelegasian Wewenang
• Menghapus Pasal 8A ayat(2), Pasal 9 ayat (4d), dan Pasal 9 ayat (13)
• Mengatur pendelegasian wewenang bagi ketentuan pada Pasal 9A
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. Nilai lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (1);
b. Kriteria belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a);
c. Penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(4c);
d. Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c);
e. Pedoman pengkreditan pajak masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6);
f. Penentuan sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6c);
g. Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal9 ayat (6e) hurufa;
h. Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9a), ayat (9b), dan ayat (9c); dan
i. Jumlah peredaran usaha tertentu, jenis kegiatan usaha tertentu, jenis Barang Kena Pajak tertentu, jenis Jasa Kena Pajak tertentu, dan besaran Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9A ayat (1).