Perlu Strategi Jitu Lawan Predatory Pricing Yang Rugikan UMKM

MONITORDAY.COM - Produk UMKM kita memang harus dilindungi manakala berhadapan dengan produk impor yang daya saingnya tinggi termasuk dalam soal harga. Terkadang harga produk asing sangat murah terutama di pasar digital yang sudah melampaui batas negara. Namun upaya perlindungan terhadap UMKM lokal harus tepat dan cermat agar tak merugikan konsumen dan UMKM yang bergerak di ranah retail.
Pembatasan kuota impor seperti diwacanakan pemerintah untuk melindungi pelaku UMKM dari praktek predatory pricing asing, justru bisa berpotensi merugikan UMKM itu sendiri. Demikian menurut Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewandaru.
Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama.
Segera setelah berhasil mengusir pelaku usaha pesaing dan menunda masuknya pelaku usaha pendatang baru, selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan keuntungan yang mungkin didapatkan.
Meski didasari niat baik mendukung UMKM lokal, penggunaan instrumen seperti penetapan batas maksimal peredaran barang impor serta pembatasan transaksi lintas negara pada pasar digital justru dapat melukai bukan hanya konsumen, tetapi juga pelaku usaha eceran lokal apabila tidak disertai kemampuan membuktikan adanya praktik tarif predator. Demikian kata Thomas Dewaranu.
Menurutnya, kebijakan proteksionisme dan diskriminasi berlebihan terhadap produk asing justru dapat berdampak negatif, baik kepada konsumen maupun UMKM, khususnya para pedagang eceran yang mengandalkan pendapatan mereka pada penjualan produk impor.
Rencana pembatasan kuota barang impor itu sendiri, lanjutnya, rencananya akan dilakukan melalui merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha.
Sebelum membahas opsi kebijakan yang tersedia, Kementerian Perdagangan bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu lebih dahulu memvalidasi isu tarif predator penjual asing yang menjadi dasar pertimbangan rencana revisi Permendag ini.
Sangat sulit menentukan apakah harga jual murah sebuah produk disebabkan oleh praktik tarif predator atau memang karena sistem produksi yang efisien.
Selain itu, perlu diingat bahwa produk lintas negara yang ditransaksikan secara daring juga telah dibebankan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN). Jika sebelumnya terdapat kelonggaran bea masuk terhadap barang impor kiriman dengan nilai transaksi di bawah 75 dolar AS, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 199/PMK.010/2019 telah mempersempit akses fasilitas tersebut hanya untuk barang impor kiriman dengan nilai transaksi kurang dari 3 dolar AS.
Perlindungan dan dukungan terhadap UMKM sebaiknya dilakukan melalui pencabutan ketentuan kewajiban memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE) yang terdapat dalam Permendag Nomor 50/2020.