Pemerintah Berupaya Bangun Mobil Listrik, Kini Inalum Bangun Pabrik Baterainya
Kerja sama dengan mitra China dan Korea, dari hulu sampai hilir sekitar US$ 12 miliar. Sudah disiapkan rencana kerja sama kongkrit, rencana pemanfaatan nikel sampai hasilkan baterai.

MONITORDAY.COM - Pemerintah tengah berupaya membangun kendaraan berbasis listrik guna menekan konsumsi bahan bakar dari energi fosil, yang dinilai tidak ramah lingkungan. Adapun, sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah sibuk memenuhi kebutuhan baterai kendaraan listrik tersebut, seperti membuat pabrik baterai.
Sedangkan pembangunan pabrik baterai direncanakan akan dipimpin oleh holding BUMN pertambangan MIND ID atau Inalum melalui PT Aneka Tambang Tbk, bersama dengan PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).
CEO Inalum, Orias Petrus Moedak mengatakan ketiga BUMN itu saat ini tengah menyusun pembentukan unit usaha baru yakni PT Indonesia Battery.
Terkait membangun pabrik baterai tersebut, Orias mengatakan saat ini pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan dua calon mitra dari China dan Korea Selatan. Menurutnya, proyek ini akan terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Lebih lanjut, Orias membeberkan nilai investasinya diperkirakan mencapai US$ 12 miliar atau sekitar Rp 177,6 triliun (asumsi kurs Rp 14.800 per US$).
"Kerja sama dengan mitra China dan Korea, dari hulu sampai hilir sekitar US$ 12 miliar. Sudah disiapkan rencana kerja sama kongkrit, rencana pemanfaatan nikel sampai hasilkan baterai," kata Orias dalam acara Webinar pada Selasa, (13/10).
Perkiraan investasi US$ 12 miliar tersebut, kata Orias, berasal dari dua perusahaan calon mitra di mana masing-masing diperkirakan akan berinvestasi US$7 miliar dan US$ 5 miliar, tergantung dari ukurannya. Saat ini menurutnya pihaknya tengah dalam proses pembicaraan dengan calon investor tersebut dan diharapkan kesepakatan bisa segera tercapai.
"Di hulu ada Antam, yang intermediate ada Pertamina, hilir ada PLN. Sekarang lagi diproses. Itu nanti ada Indonesia Battery, itu holding company yang terlibat dalam pembuatan baterai dari hulu ke hilir," jelasnya.
Selain itu, Orias mengatakan biaya investasi US$ 12 miliar ini akan diperoleh dari ekuitas pemegang saham dan perbankan. Semua lini menurutnya harus difokuskan, jangan sampai perbankan tidak memberikan dukungan.
Kedepan, ia pun berharap industri dapat menyerap baterai ini nantinya. Jika industri tidak menyerap, maka ekspor tidak akan terhindarkan. Ini akan sangat disayangkan karena artinya kita malah memberikan subsidi bagi negara lain.
"Kalau kita menghasilkan sesuatu dengan harga yang tidak terlalu mahal di dalam negeri, kemudian dibeli perusahaan luar negeri, itu sama saja memberikan subsidi secara tidak langsung," ungkapnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan saat ini Pertamina tengah diminta untuk menghitung cadangan bahan bakar fosil bertahan sampai berapa lama jika terus digunakan. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan perusahaan ini untuk masuk sebagai penyedia bahan bakar untuk kendaraan listrik.
"Pertamina nantinya ke depan akan jadi perusahaan yang memproduksi EV battery. Dia akan berubah dari menjual energi fosil menjadi energi baterai," kata Arya dalam video yang diunggah dalam akun Matangasa Institute, dikutip Selasa (29/09).