Pajak di Indonesia dari Masa ke Masa

MONITORDAY.COM - Pajak menjadi salah satu komponen penting dalam perjalanan sebuah negara. Hampir setiap negara mempunyai perjalanan panjang terkait aturan-aturan mengenai penetapan pajak. Begitu pula Indonesia, pungutan pajak bahkan sudah dilakukan sejak masa kerajaan-kerajaan nusantara.
Sejak dulu, pajak telah diterapkan, mulai dari pajak tanah, hasil pertanian, rumah, pertunjukan seni, hingga pajak pelacuran. Dalam pelaksanaanya, pajak itu diberlakukan dengan cara-cara dan mekanisme yang sederhana hingga dengan cara yang sistematis dan terstruktur.
Berikut dipaparkan secara singkat perjalan pajak di Indonesia dari masa-kemasa, mulai dari masa kerajaan-kerajaan, hingga di era pasca kemerdekaan, yang dirangkum dari berbagai sumber.
Pajak Masa Kerajaan Hingga Penjajahan
Pada zaman kerajaan nusantara, pajak dikenal sebagai upeti, yakni pemberian dari rakyat kepada raja, sebagai persembahan karena dianggap sebagai wakil tuhan. Namun ada timbal balik yang diberikan kepada rakyat yaitu jaminan keamanan dan ketertiban.
Upeti juga menjadi instrumen bagi raja-raja yang merasa lebih kuat untuk menegaskan kekuasaan atas raja-raja yang lebih lemah. Upeti dibayarkan secara bertingkat mengikuti hierarki pemerintah. Pejabat-pejabat lokal memungut upeti dari warga untuk penguasa lokal, kemudian penguasa lokal memberikan upeti ke raja yang menaungi wilayahnya, dan seterusnya.
Saat masuknya VOC, maskapai dagang milik Belanda, pajak diberlakukan untuk membangun kota-kota perdagangan di Hindia Timur (sekarang Indonesia). Bahkan Batavia yang dibangun VOC pada abad ke 17 dengan menggunakan pajak, berhasil menjadi kota perdagangan besar hingga dijuluki "Ratu Timur".
Pajak yang dipungut oleh VOC pertama-tama antara lain pajak rumah, pajak usaha, pajak kepala pedagang Tionghoa dan pedagang asing lainnya. Kemudian pada masa Gubernur Jenderal Daendels pada awal abad ke-19 diberlakukan pemungutan pajak pintu gerbang (baik orang dan barang), dan juga pajak penjualan barang di pasar (bazarregten).
Kemudian pada masa gubernur jenderal Rafless, saat pendudukan Inggris, diberlakukan pajak atas tanah, yang meniru sistem di India, yakni pengenaan pajak atas sewa tanah masyarakat kepada pemerintah kolonial. ini yang menjadi cikall-bakal pengenaan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Namun antara tahun 1850-1870, diberlakukan kebijakan untuk memeberikan hak perorangan terhadap tanah sebagai solusi atas rendahnya taraf hidup rakyat pribumi akibat adanya pungutan pajak yang tinggi. Kebijakan ini banyak yang menolaknya karena sistem yang lama sudah mengakar kuat, dan pajak yang diberlakukan atas tanah yang dimiliki juga tetap tinggi.
Di masa kolonial Belanda juga diberlakukan pajak penghasilan bagi pribumi maupun non-pribumi. bagi pribumi, pajak diberlakukan atas kegiatan usaha seperti perdagangan, atau dikenal dengan Tax bussines, sementara bagi non-pribumi dikenakan atas paten usaha bidang industri, pertanian, kerajinan tangan, manufaktur dan sejenisnya sehingga disebut tax patent duty.
Selanjutnya pada masa pendudukan Jepang, saat di mana tanam paksa (Romusha) diberlakukan, mekanisme pajak yang dipakai meneruskan kebijakan kolonial, yakni mengenakan pajak terhadap semua jenis tanah produktif, namun bedanya pajak diwajibkan untuk desa bukan perseorangan.
Pemerintah Jepang juga menetapkan sistem wajib serah padi. Kemudian pajak untuk penggunaan fasilitas-fasilitas tertentu, seperti jembatan, jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. Masyarakat juga diwajibkan untuk membayar pajak sepeda bagi siapa saja yang memilikinya.
Pasca Kemerdekaan Hingga Saat Ini
Pasca Kemerdekaan 17 Agustus 1945, masalah pajak ditauangkan ke dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 23 yang memuat lima butir ketentuan terkait keuangan, butir kedua menyatakan bahwa “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Pada 19 Agustus 1945, Kementerian yang mengurusi keuangan langsung dibentuk yang di dalamnya terdapat juga Pejabat Pajak.
Di masa ini, Presiden Soekarno sebenarnya masih memberlakukan aturan pajak warisan kolonial. Namun perlahan, pemerintah membenahi berbagai aturan, di antaranya pada 1957 mengganti Pajak Peralihan dengan nama Pajak Pendapatan 1944. Kemudian Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter yang bertugas melakukan pungutan pajak hasil bumi dan tanah, pada 1963 diubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi.
Kemudian Pada masa Presiden Soeharto dilakukan pembenahan terkait aturan pajak, antara lain dikeluarkan UU Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Perseroan 1925. Selanjutnya diterbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1976 mengubah mekanisme birokrasi pajak yang semula bidang moneter ke dalam bidang perpajakan.
Pada 1983, reformasi pajak dilakukan melalui Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN) dengan mengundangkan lima paket undang-undang perpajakan, yaitu tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), PPN dan PPnBM, PBB serta Bea Meterai (BM).
Sistem perpajakan yang semula official-assessment diubah menjadi self-assessment. Sejak 1984 Indonesia memasuki era baru sistem pemungutan pajak, yaitu self assessment system yang memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
Hingga saat ini, perubahan perubahan undang-undang perpajakan terus dilakukan, termasuk juga ukuran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sistem self-assessment ditekankan untuk peningkatan pendapatan. Target penerimaan negara dari perpajakan juga terus meningkat. Pemerintah juga mewajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan yang tegas diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2007.
Terbaru, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perturan Perpajakan. UU ini memiliki enam ruang lingkup pengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta Cukai.
Selain itu, UU HPP juga mengatur dua hal utama yaitu asas dan tujuan. UU ini diselenggarakan berdasarkan asas keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional.