Menyoal Nilai Manfaat Subsidi Pupuk

Menyoal Nilai Manfaat Subsidi Pupuk
Pupuk/ net

MONITORDAY.COM - Ketahanan pangan berkait erat dengan produktivitas pertanian tanaman pangan. Jumlah populasi manusia yang meningkat memerlukan upaya optimalisasi pertanian agar mampu mencukupi semakin meningkatnya kebutuhan pangan. Semakin produktif akan semakin menguntungkan tak hanya secara ekonomis juga secara sosial dan ekologis.

Optimalisasi yang diharapkan mampu menekan kebijakan perluasan lahan pertanian. Semakin banyak sawah dicetak berarti konversi lahan. Termasuk hilangnya hutan atau deforestasi. Hal yang menimbulkan potensi bencana baru termasuk perubahan iklim yang mengancam ketahanan pangan juga.

Salah satu upaya menggenjot produktivitas adalah penggunaan pupuk. Ada pupuk organik adapula pupuk kimia. Sejarah penggunaan pupuk, dilansir dari Wikipedia,  pada dasarnya merupakan bagian daripada sejarah pertanian. Penggunaan pupuk diperkirakan sudah dimulai sejak permulaan manusia mengenal bercocok tanam, yaitu sekitar 5.000 tahun yang lalu.

Bentuk primitif dari penggunaan pupuk dalam memperbaiki kesuburan tanah dimulai dari kebudayaan tua manusia di daerah aliran sungai-sungai Nil, Efrat, Indus, Cina, dan Amerika Latin.

Lahan-lahan pertanian yang terletak di sekitar aliran-aliran sungai tersebut sangat subur karena menerima endapan lumpur yang kaya hara melalui banjir yang terjadi setiap tahun. Di Indonesia, pupuk organik sudah lama dikenal para petani.

Penduduk Indonesia sudah mengenal pupuk organik sebelum diterapkannya revolusi hijau di Indonesia. Setelah revolusi hijau, kebanyakan petani lebih suka menggunakan pupuk buatan karena praktis menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganya pun relatif murah dan mudah diperoleh.

Kebanyakan petani sudah sangat tergantung pada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pertanian. Tumbuhnya kesadaran para petani akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik.

Berdasarkan data Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2018, produksi tanaman padi Indonesia mencapai 5,19 ton per hektare (ha). Volume tersebut lebih tinggi dari negara produsen beras lainnya, seperti Thailand yang hanya 3,09 ton per ha; Filipina 3,97 ton per ha; India 3,88 ton per ha; serta Pakistan 3,84 ton per ha. Data ini memacu Indonesia agar semakin kuat meningkatkan produktivitas.

Klaim Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahwa kebijakan pupuk bersubsidi bagi petani Indonesia untuk menunjang produktivitas tanaman mencapai nilai manfaat di atas 250 persen perlu dikaji semua pemangku kepentingan dalam pertanian khususnya tanaman pangan. Klaim ini berdasarkan perbandingan anggaran yang digunakan rata-rata dari 2014 sampai 2020, yakni sebesar Rp28,1 triliun.

Mentan memaparkan bahwa berdasarkan luas baku sawah nasional mencapai 7,46 juta hektare, diperlukan subsidi pupuk sebanyak 21 juta ton. Namun, pemerintah baru bisa memenuhi subsidi pupuk sebanyak 9 juta ton, di mana untuk tanaman pangan, yakni padi baru teralokasikan subsidi pupuk sebanyak 6,1 juta ton.

Syahrul mengungkapkan meski dengan alokasi yang terbatas, nilai tambah produksi tanaman sebagai dampak dari kebijakan pupuk bersubsidi mencapai Rp98,4 triliun berdasarkan hasil kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Penggunaan Pupuk Organik

Kalangan petani di berbagai daerah perlu mengubah cara pandang dengan tidak lagi bergantung kepada pupuk kimia dan lebih banyak menggunakan pupuk organik yang dinilai lebih memiliki manfaat dari beragam aspek dalam sektor pertanian.

Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah).

Kalau tidak pakai pupuk kimia, petani khawatir produksi lahannya tidak maksimal. Ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik sangat terkait dengan pola pikir para petani yang sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia. Dalam jangka panjang penggunaan bahan kimia yang berlebihan mengancam kelestarian lingkungan.

Faktanya, produksi pupuk organik ternyata belum diminati secara luas oleh para petani karena pupuk kimia masih dipercaya petani mampu meningkatkan produksi tanaman pangannya. Alasan ekonomis lebih dominan. Pupuk kimia dinilai lebih efektif dalam menggenjot produktivitas tanaman. Di tengah nilai tukar petani yang tak kunjung membaik maka pilihan yang paling rasional adalah penggunaan pupuk kimia.

Hal tersebut berdampak antara lain seperti PT. Pupuk Indonesia sendiri belum bisa memproduksi massal pupuk organik, karena penggunaannya masih rendah. Pada awal Januari 2021 ini, PT Pupuk Indonesia sudah memproduksi stok pupuk sebanyak 1.941.830 ton. Dari jumlah itu, pupuk organik diproduksi sebesar 130.728 ton. Dalam prediksi perkembangannya (prognosis), hingga akhir 2021, PT. Pupuk Indonesia akan memproduksi pupuk sebanyak 13.533.512 ton, di mana 834.600 ton merupakan pupuk organik.

Subsidi pupuk perlu diefektifkan agar semakin kuat menopang produktivitas tanaman pangan. Penggunaan pupuk organik juga perlu disosialisasikan lebih luas terkait ekonomi hijau dan produk hijau. Keuntungan sosial, ekonomis, dan ekologis harus diperhatikan agar di masa depan kita semakin berdaulat di sektor pangan.