LGBT, Pancasila, dan Ancaman Social Conformity
Jika dianggap penyakit, LGBT bisa diobati.

MONDAYREVIEW.COM – “Zaman dahulu, orang-orang yang orientasi seksualnya homo dianggap sebagai penyakit. Tapi di zaman sekarang, gay atau lesbi itu sayangnya tidak lagi dianggap sebagai penyakit. Karenanya, kami para dokter atau psikolog tidak bisa melakukan apa pun,” kenang Rizki Edmi Edison. “Jadi bagaimanapun, dalam upaya kita mengurangi LGBT, semoga legaliasi LGBT tidak terjadi.”
Pro dan kontra terkait Lesbian, gay, biseksual dan transgender/transeksual (LGBT) terus bergulir. Ada yang mengatakan LGBT sebagai penyakit, ada pula yang mengatakan bukan penyakit.
Hebatnya, bahkan ada yang menyatakan LGBT merupakan hal yang natural dan bawaan sejak lahir. Inilah yang ini kemudian menjadi sandaran kaum LGBT untuk membenarkan perbuatannya. Sebaliknya, LGBT jika dilihat dari sudut pandang budaya dan agama yang ada di Indonesia merupakan sesuatu yang dilarang dan harus ditolak kahadirannya. Tapi apakah LGBT itu sesuatu yang normal?
Rizki Edmi Edison adalah Kepala Pusat Neurosains Uhamka, dan alumnus Jichi Medical University. Dalam Acara Pengajian yang dihelat PP Muhammadiyah di Jakarta, dia mengatakan bahwa sejatinya kita bisa membedakan antara, Jenis kelamin, identitas gender, dan orientasi seksual. Ketiganya merupakan hal yang berbeda. Dan yang menjadi permasalahan sekarang adalah soal orientasi seksual.
“Seharusnya perempuan cenderung dengan laki-laki, laki-laki cenderung dengan perempuan, namun sekarang laki-laki cenderung dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan,” kata dr. Rizki.
dr. Rizki menyingkap, perilaku manusia memang dipengaruhi oleh otaknya. Tapi otak juga bisa ditentukan oleh perilaku. Penelitian membuktikan bahwa otak pelaku homoseksual dan lesbian itu berbeda dengan laki-laki atau perempuan normal. Oleh karenanya, kemungkinan besar perubahan orientasi seksual tersebut merupakan hasil persepsi.
Ada begitu banyak penelitian yang dilakukan dalam mancari tahu sebab kelainan orientasi seksual ini dari masa kecil seseorang. Karena itulah jika ada teman, atau siapa pun yang terindikasi homo atau lesbi, jangan langsung menyalahkannya, harus diketahui dulu bagaimana masa kecilnya.
“Yang patut disalahkan itu orangtua mereka. Mengapa, dari penelitian-penelitan dilakukan, kebanyakan orang yang pada masa dewasa mengalami perubahan orientasi seksual, itu pernah mengalami trauma seksual di waktu kecil, baik fisik, psikologis, maupun seksual,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, kalau betu-betul ingin mengurangi pelaku LGBT, menurut Edmi, mulai dari bagaimana orangtua mendidik anaknya. Hal ini yang harus diperhatikan.
Apakah LGBT bisa diobati?
Menurut Edmi, LGBT tentu saja bisa diobati. Tapi masalahnya adalah, dokter atau psikolog bisa mengobati seseorang jika hal yang dialami sesorang tersebut dianggap sebagai penyakit. Sementara ada banyak orang yang melihat LGBT sebagai perilaku yang natural, bukan penyakit.
Padahal, jika dianggap penyakit, LGBT bisa diobati. Menurut Edmi, jika adanya pembiasaan kepada para pelaku LGBT, maka otaknya bisa berubah, dan perilakunya juga bisa berubah. Namun sayangnya karena saat ini LGBT bukan dianggap sebagai penyakit, maka dokter atau psikolog tidak mengobati perilaku perubahan orientasi seksualnya, melainkan hanya gejala depresi yang diakibatkan oleh perilaku seksualnya.
Karena itulah, yang paling mengerikan adalah jika seandainya ada pelegalan LGBT. Kata dr. Rizki, akan terjadi suatu kondisi yang dinamakan dengan social conformity.Yaitu kondisi di mana perilaku sosial yang dulunya dianggap terlarang menjadi sesuatu yang biasa.
“Sekarang kalau terjadi legalisasi LGBT, diperbolehkan oleh negara, boleh laki-laki sama laki-laki monggo, perempuan sama perempuan monggo, maka orang-orang yang berada dalam kebimbangan, jika lingkungan mereka banyak gay atau lesbi, maka pasti orang itu akan jadi gay atau lesbi,” ujarnya.
Disinilah sebetulnya signifikansi dari adanya Pancasila, terutama sila pertama, yaitu ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Bahwa agama mana pun di dunia, tidak ada satupun yang memperbolehkan laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan.
[Faisal Ma’arif]