Kritik Permendikbudristek 30/2021, Muhammadiyah: Cabut atau Lakukan Perubahan!

Kritik Permendikbudristek 30/2021, Muhammadiyah: Cabut atau Lakukan Perubahan!
Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

MONITORDAY.COM - Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, belakangan menuai polemik lantaran disebut-sebut melegalkan perzinahan. 

Pimpinan Pusat Muhammadiyah turut menyoroti Permendikbud yang diteken Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 itu. Muhammadiyah menilai, Permen tersebut memang memiliki beberapa masalah formil dan materiil. 

Secara formil, Permen ini dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Hal itu terjadi karena pihak-pihak yang terkait dengan materi Permen itu tidak dilibatkan secara luas, utuh, dan minimnya informasi dalam setiap tahapan pembentukan. 

"Hal itu telah bertentangan dengan Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan (termasuk peraturan menteri) harus dilakukan berdasarkan asas keterbukaan," kata Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan, PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad, dalam siaran pers, Minggu (7/11/2021). 

Selain itu, Muhammadiyah juga menilai Permendikbud No. 30/2021 ini tidak tertib materi muatan. Terdapat dua kesalahan materi muatan yang mencerminkan adanya pengaturan yang melampaui kewenangan. Pertama, Permen ini mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional. 

Kedua, Permen ini mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi (Pasal 62 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi) melalui pembentukan “Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual” (Pasal 23 Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021).

Beberapa Pasal yang Bermasalah

Adapun dari sisi materil, Muhammadiyah menyebut ada beberapa hal yang bermasalah. Pertama, Pasal 1 angka 1 yang merumuskan norma tentang kekerasan seksual dengan basis “ketimpangan relasi kuasa” mengandung pandangan yang menyederhanakan masalah pada satu faktor. 

"Padahal sejatinya multikausa, serta bagi masyarakat Indonesia yang beragama, pandangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan laki-laki dan perempuan dalam relasi mu’asyarah bil-ma’ruf (relasi kebaikan) berbasis ahlak mulia," kata Arsyad. 

Kemudian, perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban” dalam Permen ini mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada “persetujuan korban (consent)”.

Selanjutnya, rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 Permendikbud 30/2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. 

"Standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi persetujuan dari para pihak. Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah," lanjut Arsyad.

Selanjutnya, pengingkaran nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta legalisasi perbuatan asusila berbasis persetujuan tersebut, bertentangan dengan visi pendidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

"Yang menyatakan bahwa "pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang," sebut Arsyad. 

Kemudian, Muhammadiyah juga menilai, sanksi penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sebagaimana dalam Pasal 19 Perman ini, tidak proporsional, berlebihan, dan represif. 

"Seyogyanya pemerintah lebih mengedepankan upaya pembinaan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menguatkan institusi pendidikan," tegas Arsyad. 

Atas beberapa masalah itu, Muhammadiyah mendorong agar Kemendikbudristek lebih akomodatif terhadap publik dalam menyusun kebijakan dan regulasi, terutama berbagai unsur penyelenggara pendidikan tinggi, serta memperhatikan tertib asas, dan materi muatan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

"Hal ini dimaksudkan agar pembentukan Peraturan Menteri memenuhi asas keterbukaan dan materi muatan sebagaimana ketentuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Asyad. 

Menurut Arsyad, dengan lebih akomodatif terhadap pemenuhan publik, maka substansi Peraturan Menteri mendapatkan perspektif dari berbagai pihak, atau bersifat aspiratif, responsif, representatif, tidak resisten, serta tidak menemui kendala atau hambatan apabila diimplementasikan. 

"Standar pembentukan Peraturan Menteri sebaiknya ada tahapan public hearing, focus group discussion, dialog, dengar pendapat, jajak pendapat, survei, atau mekanisme lain yang pada prinsipnya bisa melibatkan dan mengakomodasi publik atau para pemangku kepentingan terkait," jelas Arsyad. 

Kemudian, Muhammadiyah juga mendorong agar Kemendikbudristek merumuskan kebijakan dan peraturan berdasarkan pada nilai-nilai agama, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 
1945. 

Terahir, Muhammadiyah meminta Kemendikbudristek mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permendikbudristek No. 30/2021, agar perumusan peraturan sesuai dengan ketentuan formil pembentukan peraturan perundang-undangan dan secara materil tidak terdapat norma yang bertentangan dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.