Kran UU Ciptaker Demi Pacu Pembangunan Pembangkit Energi Geothermal

MONITORDAY.COM - Belum optimalnya pengembangan panas bumi terutama untuk pembangkit listrik atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) karena masih adanya masalah tarif listrik panas bumi. Tarif yang ada saat ini tidak masuk ke dalam keekonomian proyek. Perlu ada regulasi agar geothermal (panas bumi) masuk keekonomiannya dulu.
Energi panas bumi atau energi geothermal adalah sumber energi yang relatif ramah lingkungan karena berasal dari panas dalam bumi. Air yang dipompa ke dalam bumi oleh manusia atau sebab-sebab alami (hujan) dikumpulkan ke permukaan bumi dalam bentuk uap, yang bisa digunakan untuk menggerakkan turbin-turbin untuk memproduksi listrik.
Biaya eksplorasi dan juga biaya modal pembangkit listrik geotermal lebih tinggi dibandingkan pembangkit-pembangkit listrik lain yang menggunakan bahan bakar fosil. Namun, setelah mulai beroperasi, biaaya produksinya rendah dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Tarif listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) ini juga dikaitkan dengan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik per wilayah, sehingga menyulitkan bagi pengembang untuk menyesuaikan dengan BPP tersebut.
PLTP juga memerlukan kegiatan pengeboran di awal pengembangannya, sehingga membutuhkan investasi yang besar. Dalam 1-2 tahun ini tidak ada pembangunan baru (PLTP) karena masalah tarif.
Di industri migas telah terdapat skema pengembalian biaya produksi oleh pemerintah kepada kontraktor atau produsen migas atau dikenal dengan istilah 'cost recovery'. Skema yang sama perlu diterapkan di industri panas bumi. Tak mesti sama, namun bisa juga melalui ikut serta pemerintah dalam membiayai atau ikut mengebor panas bumi.
Pemerintah perlu terobosan dalam bentuk government drilling, sehingga potensi geothermal bisa dioptimalkan.
PLTP merupakan salah satu sumber pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan yang bisa digunakan untuk menopang beban dasar (base load) seperti halnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Bila ada rencana mengurangi PLTU, maka PLTP bisa cocok menggantikannya.
Berdasarkan data Pertamina, Pertamina kini mengoperasikan 672 MW PLTP dan Joint Operation Contract (JOC) PLTP 1.205 MW, dan dalam eksplorasi dan pengembangan sebesar 495 MW.
Di beberapa tahun terakhir, pasar untuk tenaga geothermal meningkat tajam, terutama di pasar-pasar negara berkembang karena - akibat pertumbuhan ekonomi - semakin banyak komunitas-komunitas di pedesaan berpenghasilan rendah yang mendapat akses ke jaringan listrik. Banyak pemerintah juga makin meningkatkan fokus untuk mengurangi kebergantungan pada bahan bakar fosil yang mahal dan tidak ramah lingkungan.
Sekitar 40% cadangan energi geothermal dunia terletak di bawah tanah Indonesia, maka negara ini diperkirakan memiliki cadangan-cadangan energi geotermal terbesar di dunia dan karena itu memiliki potensi tinggi untuk sumber energi terbarukan. Namun, sekitar 80% dari cadangan geothermal Indonesia terletak di hutan lindung dan area konservasi, oleh karena itu mustahil untuk memanfaatkan potensi ini. Sebagian besar dari potensi ini belum digunakan. Saat ini, Indonesia hanya menggunakan 4-5% dari kapasitas geothermalnya.
Faktor utama yang menghalangi investasi pengembangan geothermal di Indonesia adalah hukum di Indonesia sendiri. Dulu aktivitas geothermal didefinisikan sebagai aktivitas pertambangan (Undang-Undang No. 27/2003) yang mengimplikasikan bahwa hal ini dilarang untuk dilaksanakan di wilayah hutan lindung dan area konservasi (Undang-Undang No. 41/1999), walaupun faktanya aktivitas-aktivitas tambang geothermal hanya memberikan dampak kecil pada lingkungan (dibandingkan aktivitas-aktivitas pertambangan yang lain).
Untuk mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT), salah satu yang didorong pemerintah adalah pemanfaatan panas bumi atau geothermal. Pemanfaatan panas bumi turut diatur dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
Aturan panas bumi terkait pengaturan simplifikasi perizinan usaha panas bumi. Pengusahaan panas bumi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten seusai dengan kewenangan masing-masing.