Kebijakan Energi Baru Terbarukan Perlu Dukungan Kepastian Hukum

MONITORDAY.COM - Menurunnya produksi energi fosil terutama minyak bumi serta komitmen global dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, mendorong Pemerintah untuk meningkatkan peran energi baru dan terbarukan secara terus menerus sebagai bagian dalam menjaga ketahanan dan kemandirian energi Nasional.
Sesuai PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, target bauran energi baru dan terbarukan pada tahun 2025 paling sedikit 23% dan 31% pada tahun 2050, namun demikian pemanfaatan EBT saat ini masih tertekan oleh pemanfaatan energi fosil sehingga pencapaiannya pada tahun 2019 baru sebesar 9,15%, masih di bawah target RUEN sebesar 12,2%.
Total potensi energi terbarukan ekuivalen 442 GW digunakan untuk pembangkit listrik, sedangkan BBN dan Biogas sebesar 200 ribu Bph digunakan untuk keperluan bahan bakar pada sektor transportasi, rumah tangga, komersial dan industri. Pemanfaatan EBT untuk pembangkit listrik tahun 2018 sebesar 8,8 GW atau 14% dari total kapasitas pembangkit listrik (fosil dan non fosil) yaitu sebesar 64,5 GW.
Minimnya pemanfaatan EBT untuk ketenagalistrikan disebabkan masih relatif tingginya harga produksi pembangkit berbasis EBT, sehingga sulit bersaing dengan pembangkit fosil terutama batubara. Selain itu, kurangnya dukungan industri dalam negeri dalam pengembangan teknologi, terbatasnya dukungan rantai suplai untuk pembangkitkan energi terbarukan serta masih sulitnya sumber pendanaan yang ekonomis, juga menjadi penyebab terhambatnya pengembangan energi terbarukan secara masif.
Dalam roadmap pengembangan EBT, sebagian besar EBT dimanfaatkan untuk pembangkit listrik dan sisanya untuk sektor transportasi, industri, komersial dan sektor lainnya sebagai bahan baku campuran biodiesel dan bioetanol. Adapun EBT yang dikembangkan antara lain bersumber dari panas bumi, air, surya, angin, biomasa, sampah, bioetanol dan biodiesel.
Hal tersebut yang menjadi latar belakang Webinar Nasional: Kepastian Hukum dan Pengaruhnya terhadap Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia pada Sabtu, 20 Maret 2021 yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga se-Jabodetabek (IKA FH-UNAIR Jabodetabek).
Narasumber lain Johannes Sahetapy- Engel, S.H., M.M (Professional Lawyer AKSET) menegaskan bahwa kepastian hukum sangat penting bagi investor. Jangan sampai ganti penguasa ganti kebijakan yang akan membuat investor merasa dirugikan. Jumlah investasi yang besar membutuhkan tawaran insentif yang menarik. Disamping itu juga masalah perburuhan dimana sebelum UU Ciptaker Indonesia termasuk negara yang mahal dalam urusan buruh terutama bila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) melalui kebijakan industri yang tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035
“Saat ini kita telah memasuki tahap 2 (periode 2020 – 2024) dalam RIPIN, dimana difokuskan untuk mencapai keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan melalui penguatan struktur industri dan penguasaan teknologi, serta didukung oleh SDM yang berkualitas,” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Eko SA Cahyanto dalam Webinar Nasional tersebut.
Pada kesempatan itu Dirjen KPAII juga melakukan penandatanganan MoU dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga untuk bekerja sama dalam hal pengembangan sumber daya manusia pada kedua belah pihak.
“Melalui kerja sama ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi dunia pendidikan yang berwawasan baik secara akademik maupun realitas,” tuturnya melalui keterangan tertulis.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri, lanjut dia, Kemenperin juga mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan sebagaimana diserukan melalui standar industri hijau yang sejalan dengan pasal 32 huruf a, dan dijelaskan lagi di pasal 34 sebagai energi yang diupayakan menggunakan energi baru dan terbarukan.
Eko menegaskan Kemenperin sangat serius dalam menggalakkan industri hijau dengan memberikan fasilitasi dan insentif baik fiskal maupun nonfiskal bagi industri yang melaksanakan standar industri hijau.
“Dari penyelenggaraan penghargaan industri hijau, diketahui bahwa pada tahun 2018 kita dapat melakukan efisiensi penggunaan energi hingga Rp1,8 triliun atau setara 12.673 Terajoule, dan pada tahun 2019 sebesar Rp3,5 triliun atau setara 11.381 Terajoule,” sebut Eko.
Ini didukung dengan partisipasi dari industri semen, industri pupuk, dan petrokimia, industri logam, industri keramik, serta industri pulp dan kertas.
Adapun Kebijakan Industri Nasional (KIN) tahun 2020-2024 difokuskan pada upaya mencapai tiga aspirasi dalam Making Indonesia 4.0 serta implementasi tahap kedua dalam RIPIN 2015-2035.
Dari 10 kelompok industri prioritas dalam KIN 2020-2024, Industri Pembangkit Energi menjadi bagian di dalamnya dengan pengembangan industri alat kelistrikan, yaitu motor/generator listrik, baterai sebagai pendukung pembangkit listrik, solar cell dan solar wafer, turbin, tungku pemanas (boiler), pipa alir uap panas, dan mesin peralatan pembangkit listrik.
“Saat ini dunia tengah berlomba-lomba untuk mengurangi emisi karbon. Kemenperin juga telah mengupayakan dalam bentuk regulasi yang mendorong penurunan emisi karbon, salah satunya di sektor otomotif,” tutur Eko.
Sejak tahun 2013, Kemenperin telah mendorong industri otomotif dengan kebijakan Kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) atau LCGC dan mobil hibrid. Lalu ketika tren kendaraan listrik kian meningkat,
Kemenperin juga melihat peluang Indonesia untuk ikut ambil bagian dalam industri kendaraan listrik. Tidak hanya sebagai negara pengguna kendaraan listrik, tetapi juga sebagai negara produsen kendaraan listrik dan komponennya.
“Kemenperin pun telah menyusun peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai sampai tahun 2030 sebagai bentuk komitmen dalam mengurangi emisi karbon,” papar Eko.
Dari peralihan ke kendaraan listrik ini diharapkan tercapai target penurunan emisi CO2 pada tahun 2020 sebesar 2.300 ton dan terus meningkat menjadi 1,4 juta ton di tahun 2035.
Sementara itu riset yang dilakukan tim dari BPPT menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan listrik akan meningkatkan emisi GRK sebesar 7 persen pada tahun 2030 dan meningkat menjadi 27,1 persen di tahun 2050. Hal ini juga tergantung dari pembangkit listrik yang digunakan.
Hadir pula secara virtual para narasumber lain yakni Dr. (Cand) Didik S Setyadi, S.H., M.H. (Kepala Divisi Formalitas, Ketua One Door Service Policy, Plt. Kepala Divisi Hukum SKK Migas); Iman Prihandono, S.H., M.H., LL.M., Ph.D ( Dekan FH UNAIR); Agung Siswanto, S.H., M.M. (VP Expert Development & PLN Group); Dhanny Jauhar, S.H., LL.M. (Senior Legal Advisor); dan M. Kasmali S.H., LL.M. (Professional Lawyer).