Kala Limbah Industri Menjadi Bencana
Ponisuwarto, 60 tahun adalah salah satu contoh nyata korban polusi udara yang disebabkan produksi PT. Rayon Utama Makmur (RUM).

MONDAYREVIEW.COM – Dalam ilmu ekonomi, terdapat sebuah istilah yang dikenal dengan eksternalitas. Industri dapat memicu kemajuan ekonomi dengan menyerap lapangan kerja dan memproduksi barang dan jasa. Nantinya barang dan jasa tersebut akan kembali dikonsumsi oleh masyarakat yang membelinya dari industri. Hal ini yang membuat roda perekonomian terus berputar. Namun adanya industry tetap melahirkan ekstrenalitas. Eksternalitas artinya dampak terhadap hal di luar perekonomian, misalnya lingkungan.
Eksternalitas ada yang sifatnya positif dan ada yang negative. Yang positif artinya industry memberikan dampak yang baik bagi lingkungan sekitar. Adapun yang negative artinya industry memberikan dampak buruk bagi lingkungan sekitarnya. Eksternalitas selalu tidak dimasukan ke dalam laporan keuangan sebuah perusahaan. Namun dampaknya bisa dirasakan secara nyata oleh masyarakat sekitar. Eksternalitas negative yang banyak dibincangkan dan masih menjadi momok yang menakutkan sampai hari ini adalah soal limbah. Sejak dulu sampai hari ini masih banyak industry yang belum mengelola limbah secara benar yang mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan hidup.
Salah satu kasus pencemaran lingkungan yang mencuat adalah PT. RUM yang terletak di Sukoharjo Jawa Tengah. Dilansir dari tirto.id, Ponisuwarto, 60 tahun adalah salah satu contoh nyata korban polusi udara yang disebabkan produksi PT. Rayon Utama Makmur (RUM). Rumahnya hanya berjarak 50 meter dari tembok bagian belakang pabrik PT. RUM.
Saat disambangi rumahnya, wartawan harus menggunakan masker mengingat bau yang menyengat—kadang bau busuk, kadang tinner, kadang malah bau kopi. Poni mengaku sudah merasakan bau-bau itu sejak PT. RUM beroperasi pada 2017 silam. Namun, sudah satu tahun terakhir ia merasakan batuk-batuk, sesak nafas, hingga ulu hati yang terasa berat. Batuk dan sesak paling parah Poni rasakan pada 13 Januari 2020 lalu, yang membuat dirinya harus dibawa ke RS Umum Muhammadiyah Selogiri, Kabupaten Wonogiri.
Dari hasil dokumen analisis rumah sakit yang saya terima, setidaknya penyakit Poni masuk ke kategori penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Setelah dari rumah sakit itu, ia harus rutin memakai alat bantu pernafasan bernama Symbicort—obat asma dengan kandungan budesonide dan formoterol fumarate. Apalagi jika saat sesak dan ulu hatinya kumat. Poni juga bukan korban tunggal di rumahnya. Istrinya juga menjadi korban limbah air produksi PT. RUM. Saya melihat kedua telapak kaki Jiyem banyak bekas luka gatal yang sudah kering. Namun, ia mengaku masih sering merasakan gatal kendati menahan untuk tidak digaruk.
Awal kejadiannya sekitar Maret 2019, Jiyem, yang merupakan seorang buruh tani, sedang menggarap sawah yang lokasinya hanya sekitar 200 meter dari rumah. Waktu menunjukkan pukul 12 siang dan ia ingin makan siang serta istirahat. Tiba-tiba Jiyem mencium bau menyengat seperti tinner pada air di tempat ia mencuci kaki di salah satu saluran irigasi sawah. Namun, saat itu Jiyem tak menyadari kalau itu merupakan limbah air PT. RUM, yang belakangan ketahuan memang sempat bocor.
Poni dan Jiyem adalah dua contoh korban limbah PT. RUM yang masih terus merasakan dampak pabrik tersebut. Sampai pencabutan Surat Keputusan Bupati Wardoyo Wijaya tentang penghentian produksi PT. RUM yang diteken pada Agustus 2019 lalu, tak ada penjelasan dari Pemkab Sukoharjo apakah PT. RUM sudah memenuhi kewajiban yang dipaksa pemerintah atau belum. Setidaknya, hingga Januari dan Februari, warga yang tergabung dalam forum Warga Terdampak Limbah Pabrik PT. RUM masih kerap mengeluh akan limbah udara yang menyengat hidung.
Sayangnya pemerintah kurang tegas dan PT. RUM tetap bandel tidak mengindahkan tuntutan masyarakat. Jika dibiarkan begini terus, maka industry malah akan menjadi bencana bagi masyarakat.