Implementasi Teaching Factory di Kelas Industri SMK
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pembinaan SMK terus mendorong upaya revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kerjasama dengan berbagai fihak telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Semakin banyak lulusan SMK yang memenuhi kebutuhan pasar kerja.

MONITORDAY.COM - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pembinaan SMK terus mendorong upaya revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Kerjasama dengan berbagai fihak telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Semakin banyak lulusan SMK yang memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Saat ini setidaknya 2.700 SMK telah bekerja sama dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI). Data ini menunjukkan semakin intensifnya komunikasi antara para pengelola pendidikan kejuruan dengan kalangan pengusaha dan industriawan. Kesadaran untuk membangun sinergi semakin tinggi untuk meningkatkan daya saing nasional.
Upaya revitalisasi SMK telah dijalankan dengan cepat dan intensif. Upaya yang menyentuh aspek kompetensi guru maupun sarana dan prasarana. Pada 2019, Kemendikbud akan melakukan kerja sama DUDI di 1.330 sekolah dengan sertifikasi siswa SMK sebanyak 50.000 siswa, "teaching factory" 500 sekolah, penambahan ruang praktik siswa 1.407 ruang.
Guru menjadi tonggak penting dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Terutama guru produktif yang memiliki kualifikasi yang unggul dan memiliki kompetensi yang tinggi. Peningkatan kompetensi dan pelatihan 15.000 orang dan peningkatan kompetensi guru mata pelajaran pendukung vokasi 3.279 orang.
Banyak sekolah yang telah mencatat prestasi dan pencapaian yang membanggakan. SMK Negeri 26 Jakarta adalah satu dari sejumlah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang membuka kelas "pesanan" industri untuk menggenjot keterserapan lulusan ke dunia kerja.
Tanpa harus menunggu 70 persen lulusan sekolah tersebut sudah dipesan industri sebelum lulus. Mereka langsung mendapatkan surat keputusan (SK) kerja setelah lulus. Sisanya harus menunggu satu hingga tiga bulan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya.
Setiap tahun, SMK yang menerapkan pola pembelajaran selama empat tahun itu menerima dan meluluskan rata-rata sekitar 355 siswa. Jumlah yang cukup banyak dengan kualitas yang prima. Kalangan industri sangat percaya dan reputasi sekolah menjadi tanggungjawab seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di sana.
Pembelajaran kelas industri menerapkan kurikulum yang disesuaikan dengan industri, misalnya otomotif dipastikan sesuai dengan permintaan dan standar industri otomotif. Sehingga lulusan yang terserap di industri yang memesan SDM tersebut relatif telah siap pakai. DI sekolah, pekerjaan yang ditugaskan dalam praktik sama dan memenuhi standar pabrik otomotif.
Sekolah menyodorkan skema pembelajaran di kelas tersebut kepada industri yang bersangkutan sebelum diaplikasikan dalam pembelajaran.
Hampir semua SMK di Jakarta, khususnya yang jurusan teknik sudah membuka kelas industri. Nama kelas industri disesuaikan dengan industri yang menjadi mitranya, misalnya kelas Suzuki, kelas Komatsu, kelas PLN dan kelas Wijaya Karya (Wika).
Dengan menjadikan industri sebagai mitranya, keterserapan lulusan sekolah kejuruan ke industri semakin meningkat, sejalan dengan program revitalisasi SMK.(ADV