Hidup Anti Overthinking Dengan Stoisisme: Mazhab Filsafat Pengendali Emosi

Hidup Anti Overthinking Dengan Stoisisme: Mazhab Filsafat Pengendali Emosi
Ilustrasi Foto/Net

MONITORDAY.COM - Sadar gak sadar, overthinking ternyata jadi pembahasan yang lekat banget sama kehidupa kita sata ini. Terutama bagi kalangan milenial.

Padahal, saat seseorang mengalami overthinking justru ia sedang menghambat penyelesaian masalah. Bukan malah mencari solusi dari masalah yang dihadapi.

Wirdatul Anisa adalah Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam perbincangan singkat, akhir pekan kemarin, dia mengatakan, sering kali kita juga gak sadar, sedang mengalami overthinking. Kata dia, jika berlarut-larut overthinking ternyta bisa menghilangkan awareness terhadap diri kita.

"Overthinking adalah menggunakan terlalu banyak waktu untuk memikirkan suatu hal dengan cara yang merugikan. Overthinking dapat berupa ruminasi dan khawatir,” ujar Wirdatul Anis pada Kuliah Online CPMH UGM (18/16)

Ruminasi sendiri, menurut dia, merupakan kecenderungan untuk terus memikirkan hal yang telah berlalu. Merasa hari ini akan lebih baik jika kemarin melakukan suatu hal, padahal itu salah satu bentuk masa lalu yang tidak bisa diulang kembali. Sedangkan khawatir adalah kecenderungan memikirkan prediksi yang negatif.

Ketika ruminasi dan kekhawatiran itu berlebih akan menghasilkan emosi-emosi yang negatif, seperti rasa takut, cemas, kecewa dan lain-lain.

Lebih dari 2.000 tahun lalu, sebuah mazhab filsafat menemukan akar masalah dan juga solusi dari banyaknya emosi negatif yang dialami manusia. Yakni aliran atau mazhab filsafat Stoisisme.

Stoisisme adalah nama sebuah aliran atau mahzab filsafat Yunani Kuno yang didirikan di Kota Athena, oleh Zeno dari Citium. Saat itu Athena menjadi pusat belajar filsafat, dimana saat itu Zeno (yang dipengaruhi oleh Socrates) merupakan salah satu pengajar Mazhab Stoisisme. Salah satu hal yang diajarkan oleh Stoisisme ialah mengenai bagaimana menghadapi emosi.

Seorang filsuf stoisisme bernama Epictetus mengatakan “It is not things that disturb us, but our opinion of them”. Maksud perkataan Epictetus ialah sering kali perasaan takut, cemas, terganggu terhadap suatu hal itu timbul karena opini kita sendiri. Bagi Stoisisme, emosi negatif itu timbul karena nalar yang sesat, bukan disebabkan oleh peristiwa eksternal. 

Marcus Aurelius seorang kaisar dan juga filsuf Stoisisme mengatakan “Jika kamu bersusah hati karena hal-hal eksternal, kesusahan itu datangnya bukanlah dari hal tersebut, tetapi dari opinimu sendiri mengenai hal itu. Dan kamu memiliki kemampuan mengubah opini tersebut kapan saja”.

Hal-hal eksternal yang dimaksud adalah seperti kekayaan, kekuasaan, reputasi, tahta, dan lain-lain. Yang sering membuat manusia mempunyai kekhawatiran berlebih akan hal tersebut. Menurut Stoisisme opini kita berada di dalam otak dan hanya kita sendiri yang dapat mengendalikannya.

Overthinking bagian dari emosi negatif yang menjadi racun bagi kewarasan kita. Maka untuk mengatasinya kita harus menjadi individu yang bisa mengendalikan diri kita sendiri dengan ikhlas dan pandai bersyukur. Sebab memang ada banyak yang tidak dapat kita kontrol di dunia ini. Yakni Hal-hal yang berada di luar batas kemampuan kita.

Perubahan cara hidup untuk tidak mengutamakan pikiran negatif dapat memberikan ketenangan hati dan juga merupakan wujud dari revolusi mental yang kita lakukan dalam kehidupan nyata, dan tentunya kita akan lebih bahagia.

Dengan demikian, dalam menghadapi bahkan menghindari emosi negatif, Stoisisme berpendapat bahwa perlunya melatih diri mengenali opini atau interpretasi diri kita terhadap hal yang irasional, seperti overthinking dan jenis emosi negatif lainnya. [ ]