Ereveld Ancol dan Kisah Tragis Perang

Makam yang bersih dan indah. Dimana sejarah perang bisa dikenang. Untuk perdamaian abadi.

Ereveld Ancol dan Kisah Tragis Perang
taufan/ ist

LAKEYBANGET.COM-Siang itu, matahari sudah mulai condong ke Barat. Sepasang calon pengantin sedang melakukan sesi foto pre wedding di dekat sebuah dermaga yang masih terlihat baru di kawasan wisata Ancol. Lanskap di sudut kawasan itu memang nampak sangat artistik.

Tak jauh dari tempat itulah terletak gerbang sebuah makam yang sekilas tidak terlalu menonjol. Ada display di depan pintu gerbang samping kanan. Memberitahu kita, bahwa di balik gerbang itulah deretan makam kehormatan Belanda.

Di antara riuhnya berbagai wahana di kawasan wisata Ancol, suasana mendadak khidmat dan senyap kala kita mendekati gerbang pemakaman ini. Ya, di ujung timur kawasan ini, sebelum Mal Ancol, ada pemakaman kehormatan Belanda, khususnya perwira militer yang pernah bertugas di Hindia Belanda saat Perang Dunia Kedua.  

Kamu sebaiknya membunyikan lonceng di gerbang itu. Seorang penjaga makam akan datang. Begitu masuk komplek makam suasana tampak sangat rapi dan bersih. Ada rumah genset yang juga tampak artistik dengan foto-foto dampak tsunami kecil yang pernah menenggelamkan komplek makam yang tepat di bibir pantai ini.  

Resminya, Ereveld Ancol adalah sebuah permakaman Belanda untuk warga militer dan sipil Belanda terutama pada saat serangan Jepang atas Hindia Belanda dan selama pendudukan Jepang. Ada yang tewas dalam  pertempuran, ada juga yang dieksekusi Jepang.

Ada dua pemakaman kehormatan Belanda di Jakarta. Yang satu lagi adalah Ereveld Menteng Pulo di Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Lebih dari 2 000 prajurit Belanda dimakamkan di sana. Tidak semua nisan ada namanya. Beberapa adalah makam dari jenazah yang dipindahkan dari kuburan massal di berbagai daerah. Lima ereveld lagi ada di Bandung, Cimahi, Surabaya dan dua di Semarang.

Ada nisan dengan penanda bahwa yang dimakamkan adalah korban yang dieksekusi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ada pula yang dipindahkan dari Sumatera Barat. Yang juga cukup banyak adalah pindahan dari Bojonegoro.

Bentuk nisan membantu kita mengidentifikasi jenazah yang dimakamkan dibawahnya. Ada nisan untuk laki-laki Kristen, nisan untuk perempuan Kristen, Muslim, Buddhis, dan Yahudi. Makam Yahudi hanya ada satu, itupun di ereveld Menteng Pulo.  

Ereveld ini diresmikan tanggal 14 September 1946 dan dikelola oleh Nederlandse Oorlogsgraven Stichting (“Yayasan Belanda untuk Permakaman Perang”). Yayasan ini mengelola makam kehormatan dan makam Belanda lainnya di banyak negara. Banyak kegiatan dan penggalangan dana yang mereka lakukan untuk kepentingan merawat makam-makam tersebut.

Di antara perwira yang dimakamkan disini adalah Mayor Jenderal KNIL Roelof Theodorus Overakker dan Kolonel KNIL George Frank Victor Gosenson. Keduanya dieksekusi di Fort de Kock Sumatera Barat. Kempetai Jepang menemukan bukti yang mengarahkan pada vonis mati bagi keduanya dan tak kurang dari 50 orang yang didakwa terlibat dalam perlawanan terhadap Jepang.

Mayjen Overraker ingin menyelamatkan para tawanan Belanda di kamp-kamp tahanan. DIa menganggap sekutu akan  segera tiba, hingga ia menyiapkan langkah-langkah untuk menyiapkan kedatangan sekutu sekaligus merancang konspirasi perlawanan terhadap tentara pendudukan Jepang. Konspirasi itu yang kelak dikenal dengan Overraker Plot.  

Salah seorang ilmuwan muslim juga dimakamkan di ereveld Ancol. Beliau adalah Prof. DR. Achmad Mochtar, Ketua Lembaga Eijkman yang dieksekusi Jepang menyusul tuduhan melakukan sabotase vaksin tetanus yang diberikan kepada 90 orang romusha. Achmad Mochtar bernegosiasi dengan para penyekapnya, di mana ia setuju untuk mengakui tuduhan sabotase bila para koleganya dilepaskan. Achmad Mochtar dipancung pada tanggal 3 Juli 1945. Sebuah catatan harian tentara Jepang menyebutkan bahwa jenazah Achmad Mochtar dihancurkan dengan mesin gilas uap dan dibuang ke liang kuburan massal.

Keberadaan kuburan Achmad Mochtar di Ancol baru diketahui tahun 2010 silam melalui penelusuran yang dilakukan  Sangkot Marzuki, yang saat itu menjadi Direktur Lembaga Eijkman. Itu berarti 65 tahun sejak peristiwa itu terjadi.