DPR dengan UU MD3: Ibarat 'Menara Gading' yang Tidak Boleh Disentuh

DPR membuat larangan dan pagar yang kokoh agar rakyat tidak berani mendekat

DPR dengan UU MD3: Ibarat 'Menara Gading' yang Tidak Boleh Disentuh
Syafril Sjofyan. (@Bangril)

MONITORDAY.COM - Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) akhirnya disahkan. Konsekuensinya, DPR melalui UU MD3 mendapat tiga kuasa tambahan, yakni pemanggilan paksa dalam rapat DPR, imunitas dan bisa mengkriminalisasi penghinaan terhadap DPR.

 

Atas hal ini, Pengamat Kebijakan Publik, Syafril Sjofyan menyayangkan pengesahan revisi UU MD3. Ia mengatakan DPR telah menjaga kehormatan dan martabat sendiri dengan membangun tinggi benteng melalui UU MD3.

 

Pasalnya, ia menilai DPR membuat larangan dan pagar yang kokoh agar rakyat tidak berani mendekat dan melanggar rambu-rambu. Syafril menegaskan seharusnya DPR membangun martabat secara tulus dengan menyuarakan suara rakyat dan meningkatkan kinerja memperbanyak menerima aspirasi rakyat yang diwakili secara langsung.

 

"DPR dan anggotanya sekarang dengan adanya UU MD3 ibarat menara gading yang tidak boleh disentuh oleh siapapun," ujar Syafril dalam keterangan tertulis kepada MONITORDAY.COM, Rabu (14/2/2018).

 

Ia menilai dengan menjadi penghuni 'menara gading' tersebut, DPR telah lupa terhadap jati dirinya sebagai lembaga yang mewakili rakyat. "Mewakili rakyat artinya menerima semua penyakit hati yang ada di masyarakat. Buat apa mereka kampanye berbulan-bulan dengan seribu janji untuk dipilih dan dicoblos rakyat," imbuhnya.

 

Syafril yang juga Aktivis Pergerakan Mahasiswa 1977-1978 (GEMA 77-78) lantas melihat saat ini, sebagian rakyat menjauhi dan bahkan membenci DPR lantaran dianggap hanya bekerja untuk kepentingan sendiri atau kepentingan partai

 

"Sebagai pengamat, saya cuma menyampaikan mulai sekarang sebaiknya rakyat melupakan mereka. Lupakan keberadaan DPR, karena mereka terlebih dahulu melupakan kepentingan rakyat," tukas Syafril.

 

Ia menuturkan masyarakat lebih baik memperkuat organisasi masing-masing, seperti ormas, organisasi pemuda, organisasi mahasiswa dan organisasi profesi. "Hanya organisasi itulah yang bisa memperjuangkan aspirasi buruh, tani, nelayan dan guru," terang Syafril.

 

"Jangan lagi lakukan audiensi, kunjungan dan unjuk rasa ke DPR, karena dalam unjuk rasa, juga akan ada caci maki yang membuat (DPR) merasa dihina dan dilanggar kehormatannya, yang akan membuat rakyat menjadi terpidana," tambah dia.

 

Lebih lanjut, sebagai solusi ia mengungkapkan sebaiknya harus dipikirkan adanya lembaga Komisi Hukum dengan tugas mempersiapkan dan membuat RUU agar lebih objektif. "Tidak seperti sekarang, pihak eksekutif dan legislatif membuat UU secara subjektif hanya sesuai dengan selera kepentingan dan keuntungan mereka saja," pungkas Syafril.

[ Reporter : Yusuf Tirtayasa]