Disebut ‘Beli Barang Milik Sendiri’, Ini Penjelasan Inalum Soal Divestasi Saham Freeport
Holding industri pertambangan PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum angkat bicara soal divestasi saham PT Freeport pada Jumat (22/12) lalu yang menimbulkan perdebatan. Banyak yang menyebut bahwa divestasi saham PTFI sama saja dengan Indonesia membeli barang miliknya sendiri.

MONITORDAY.COM – Holding industri pertambangan PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum angkat bicara soal divestasi saham PT Freeport pada Jumat (22/12) lalu yang menimbulkan perdebatan. Banyak yang menyebut bahwa divestasi saham PTFI sama saja dengan Indonesia membeli barang miliknya sendiri.
Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi Witular menegaskan proses divestasi Freeport tidak seperti yang banyak orang persoalkan itu. Ia menyayangkan, analisa dari beberapa pengamat yang tidak membaca data, namun langsung menyimpulkan.
“Ada beberapa pengamat tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya namun berani membuat analisa bodong dan menyesatkan publik seolah-olah kita membeli tanah air kita sendiri," katanya dalam keterangan tertulis, Senin, (24/12).
Dikatakan Rendi, PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada tahun 1967 di zaman Soeharto dan diperbarui melalui KK tahun 1991 di zaman Presiden yang sama dengan masa operasi hingga 2021.
Menurut Dia, perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan. Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir di tahun 2021 namun mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara ”tidak wajar”
“Interpretasi yang berbeda terkait kata tidak wajar ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase). Jika ambil jalur arbitrase, dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan,” terangnya.
Akibatnya, kata Rendi, bisa terjadi runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi.
“Tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia. Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90 persen ekonomi mereka digerakkan oleh kegiatan PTFI,” tambahnya.
Selain itu, kata Rendi, tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun, dan jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.
“KK itu tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis. KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas di mana jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah,” beber Rendi.
Sementara Prof. Mahfud MD beberapa waktu lalu juga angkat bicara melalui akun twitter pribadinya, terkait Divestasi saham PTFI yang menimbulkan banyak polemik itu.
Mantan Ketua MK itu menerangkan bahwa pada awal Orde Baru, Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi yang parah. Pemerintah perlu investasi besar sementara tata hukum belum tertib, hukum pengelolaan SDA belum ada. Kemudian Pada 1967 Pemerintah mengizinkan Freeport menambang emas dengan sistem kontrak karya (KK).
“Dengan sistem KK berarti Freeport (Bisnis swasta) disejajarkan dengan Pemerintah. Dengan sistem KK, operasi Freeport dilakukan dalam bentuk perjanjian (perdata) antara Pemerintah dan Freeport yang berlaku 1971 -1 988. Anehnya pada tahun 1991 sistem KK ini diperpanjang dengan materi yang aneh,” terang Mahfud dalam akun twitternya, Sabtu (23/12).
Menurut Mahfud, dengan sistem KK ini, maka untuk mengubah perjanjian harus diubah dengan perjanjian baru dalam posisi yang sejajar antara Pemerintah dengan Freeport. “Tapi hal ini bermasalah karena entah apa logikanya, ada materi yang disetujui oleh Pemerintah dengan pengetahuan DPR yang menguntungkan Freeport,” imbuhnya.
Selain itu, kata Mahfud, Dengan sistem KK ini, Freeport selalu menolak untuk divestasi saham 51% bagi lndonesia. Sulitnya, karena Pemerintah dengan sepengetahuan DPR dalam perjanjian bahwa jika masa kontrak habis Freeport dapat minta perpanjangan 2X10 tahun dan pemerintah Indonesia tidak menghalangi tanpa alasan rasional.
“Karena sistemnya adalah kontrak karya yang sah, maka Freeport selalu mengancam akan membawa ke arbitrasi internasional jika dipaksa mendivestasikan sahamn 51% kepada Indonesia. Meski bisa dihadapi, tapi tetap tidak ada jaminan menang bagi Indonesia jika diarbitrasikan, karena ini perdata,” terangnya.
Mahfud melanjutkan, Pada 2009, Indonesia mengundangkan UU No. 4 Thn 2009 yang isinya mengubah bentuk KK menjadi bentuk izin usaha. Dengan UU itu, Freeport tidak bisa lagi disejajarkan dengan Pemerintah. Kontrak Freeport harus dilakukan dengan badan usaha yang berbisnis dalam lapangan perdata atas izin Pemerintah Indonesia.
Pasca dikeluarkannya UU tersebut kata Mahfud, Freeport masih juga ngotot ingin mempertahankan posisi kontraknya. Pemerintahan SBY sdh melakukan upaya tapi gagal, selalu diancam akan diarbitrasikan. “Awalnya Pemerintahan Jokowi pun kesulitan juga, tapi akhirnya bisa selesai: 51% saham kita miliki,” tutup Mahfud dalam twitnya.