Digelar Mendekati Momen Pilpres, Reuni Akbar 212 Dinilai Sangat Bermuatan Politik

Menjelang digelarnya Reuni Akbar 212 pada Minggu (2/12) di Monas Jakarta, mulai banyak pandangan terhadap gerakan tersebut. Ada yang menyebut bahwa kegiatan itu murni acara reuni dan silaturahmi, ada juga yang berpendapat bahwa acara tersebut sangat bermuatan politis.

Digelar Mendekati Momen Pilpres, Reuni Akbar 212 Dinilai Sangat Bermuatan Politik
Ketua Umum SETARA Institute, Hendardi/istimewa

MONITORDAY.COM - Menjelang digelarnya Reuni Akbar 212 pada Minggu (2/12) di Monas Jakarta, mulai banyak pandangan terhadap gerakan tersebut. Ada yang menyebut bahwa kegiatan itu murni acara reuni dan silaturahmi, ada juga yang berpendapat bahwa acara tersebut sangat bermuatan politis.

Seperti Ketua Setara Institute Hendardi, yang menilai gerakan tersebut sarat akan unsur politik. Ia menilai, acara yang digelar bersamaan dengan agenda politik nasional, dalam hal ini Pilpres 2019, membuatnya tidak bisa disebut aksi silaturahmi biasa.

"Reuni aksi 212 telah menggambarkan secara nyata bahwa aksi yang digagas oleh sejumlah elite Islam politik pada 2016 lalu dan coba direpetisi," kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (30/11).

Menurut Hendardi, kontinuitas gerakan ini terus dibangkitkan, sebab sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan, terutama jelang Pilpres 2019. Strateginya dengan menguasai ruang publik sebagai daya tawar politik.

"Meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi," tambahnya.

Ia menyayangkan, melihat aksi ini seperti dua tahun yang lalu menggambarkan bahwa mereka menggunakan instrumen agama untuk kepentingan politik. Aksi 212 dikapitalisasi untuk kepentingan kelompok politik tertentu.

Kendati demikian, menurut Hendardi, kelompok yang tergabung dalam aksi tersebut, sejak pertama kali dadakan pada dua tahun yang lalu, saat ini telah banyak berkurang. Ia berpendapat, masyarakat saat ini semakin sadar bahwa hal semacam ini, dengan mengunakan agama untuk kepentingan politik, akan mengancam integritas nasional.

Sebelumnya, panitia Reuni 212 dengan tegas melarang para pesertanya untuk membawa atribut politik berbentuk apapun, karena dikhawatirkan aksi tersebut dianggap mengandung unsur politik.

"Kami melarang peserta mengenakam atribut politik. Cukuplah pakai pakaian putih-putih, atribut tauhid: boleh kaos, boleh bendera, boleh topi," kata ketua Persaudaraan Alumni 212, Slamet Maarif, kepada Wartawan, di Jakarta, Rabu (28/11).

Menurut Slamet, meski melarangan para peserta alumni membawa atribut politik, namun dirinya mengaku tak bisa menjamin kegiatan tersebut nantinya akan 'bersih seratus persen' dari atribut parpol. Ia mengaku panitia mengalami keterbatasan sumber daya manusia (SDM).

Ia juga mengatakan, meski tak bawa atribut parpol dukungan PA 212 sudah jelas dalam Pilpres 2019. Hal itu sudah diputuskan dalam Ijtimak Ulama I dan II untuk mendukung pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Bagi kita tidak perlulah atribut-atribut. Orang sudah tahu 212 itu arah perjuangannya ke mana," ujarnya.