Dampak Bullying Pada Perkembangan Otak

Bullying berdampak buruk pada perkembangan otak anak.

Dampak Bullying Pada Perkembangan Otak
Ilustrasi foto/Net

LAKBAN - Bullying atau perundungan menjadi persoalan yang tak ada putusnya. Dunia pendidikan seringkali dibuat heboh. Persoalan bangsa pun pada akhirnya jadi nambah runyam. Setelah sebelumnya ditimpa isu moral yang makin terjun bebas.

Media sosial awalnya diharapkan dapat menjadi sarana bertukar informasi yang sehat. Namun saying, malah disalahgunakan untuk menghina, menindas, merundung, menyudutkan, dan melakukan aksi bullying.

Media sosial pun berubah wujud, menjadi sangat menyeramkan akibat adanya faktor online disinhibition effect. Adanya anonimitas, minimnya afirmasi dan otoritas juga mendorong maraknya budaya perundungan. Yang paling bahaya, yaitu praktek bully pada anak.

Padahal, kata Pakar Neuropsikologi, Ihsan Gumelar, perundungan atau bullying itu berdampak pada perkembangan otak anak loh. Berikut beberapa dampak perundungan menurut alumni Toronto University ini.

1. Social Pain

Bagi orang yang mengalami atau menjadi korban bully pada masa kecil, banyak dari mereka mengalami tekanan psikologis. Tak sedikit beban psikologis tersebut bahkan bisa terbawa hingga puluhan tahun ke depan.

Kesaksian seorang korban bully pada masa kanak-kanak mengatakan bahwa "Saya merasa (secara emosi) bahwa mereka (dengan bully) kerap memukul saya dengan sebuah tongkat selama 42 tahun". Bully meninggalkan guratan emosi yang sangat tajam hingga bertahun-tahun lamanya. Karena ia bukan hanya sekedar goresan fisik (jika ada) tapi ia menggores jauh lebih dalam ke dalam relung hati.

Emosi tidak nampak secara kasat mata, akan tetapi ia akan sangat nampak dan terasa ketika terguncang atau pun diwarnai oleh warna yang negatif. Manusia akan selalu mencoba menghilangkan perasaan emosi negatif di dalam dirinya. Permasalahannya, tidak semua orang mampu untuk menghilangkan perasaan emosi negatif itu. Menjadi korban bully tentunya mengkonsumsi banyak emosi yang tidak nyaman (negatif) untuk diri sendiri. Hal inilah yang kerap membuat orang yang menjadi korban bully terus merasa bahwa ia merasakan sebuah "sakit" yang berkepanjangan di dalam diri. Bukan sakit secara fisik tapi sakit secara psikologis.

2. Stres dan Depresi

Menjadi korban bully tentunya mengalami keadaan yang super stres. Stres yang berkepanjangan ini kerap membebani pikiran seorang anak yang sedang dalam masa perkembangan.

Stres berdampak langsung pada otak. Amygdala merupakan bagian otak yang berhubungan dengan emosi juga ikut terkena imbasnya. Penelitian menunjukan ketika orang mengalami stres yang diakibatkan oleh bully, maka hal itu merubah susunan syaraf di amygdala-nya. Jika dilihat secara umur, perubahan susunan sistem syaraf di bagian amygdala ini sangat nampak sekali pada anak-anak remaja dimana tingkat bully berkembang secara subur.

Jika saja gangguan pada amygdala ini banyak terjadi pada anak-anak Indonesia, maka bukanlah hal yang aneh ketika suatu saat nanti masyarakat Indonesia akan punya masyarakat yang bermasalah secara emosi.

Tidak sedikit jumlahnya anak yang mengalami bully berubah menjadi depresi. Tentu saja yang disebut depresi itu jauh lebih parah daripada stres. Karena depresi biasa berakhir dengan bunuh diri (jika tidak ditangani secara baik dan profesional). Tidak sedikit pula anak yang menjadi korban bully sering berpikir bahwa mereka ingin melakukan bunuh diri, bahkan juga banyak yang mengutarakannya secara jelas inign mengakhiri hidupnya.

Sebagai contoh, seorang anak SD yang masih kecil. Ia terlahir dari seorang ayah yang berwarga negara asing dan ibu Indonesia tulen. Terlahir dari orang tua yang berbeda warna kulit itu, ia mempunyai tampilan wajah yang unik dan berbeda dari kebanyakan teman-teman di sekolahnya. Karena tampilan fisik yang unik itu, ia selalu mendapatkan kata-kata yang tidak menyenangkan dari teman-temannya. Ia menjadi korban bully secara psikologi. Dikarenakan sudah tidak tahan, si anak sempat mengutarakan kepada ibunya bahwa ia ingin melakukan bunuh diri. Kejadian seperti ini bukanlah satu atau dua kasus saja. Bahkan terjadi pada ratusan anak-anak Indonesia. Mungkin ribuan.

3. Self-blaming / Menyalahkan diri sendiri

Satu pertanyaan yang banyak muncul di kepala manusia-manusia yang menjadi korban bully adalah “kenapa saya ? ”. Tentunya hal ini merupakan sebuah pertanyaan yang terus muncul hingga ia bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Ketika pertanyaan itu tidak mampu dipecahkan sering kali para korban bully ini pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri, seperti kenapa saya tidak keluar dari lingkungan sosial seperti itu, mengapa saya hanya bisa diam, dll.

Ketika orang kerap menyalahi diri sendiri, hal tersebut akan berdampak pada harga diri (self-esteem) yang dimilikinya. Orang yang hidup dengan harga diri yang rendah sulit baginya untuk berbaur di lingkungan sosialnya. Atau bahkan sulit baginya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang muncul di kemudian hari karena ia memandang dirinya tak lagi berharga.

4. Emotion dysregulation / Ketidak mampuan mengolah emosi

Semua manusia yang hidup pasti mengalami kondisi emosi yang negatif. Dan kebanyakan manusia yang mampu mengolah emosinya dengan baik adalah orang yang mampu mengatur emosinya dalam kondisi yang sedang berkecamuk

Bully bisa menyebabkan anak kesulitan untuk mengatur emosi negatif seperti perasaan kesal dan marah. Emosi negatif yang tidak diolah dengan baik ataupun disalurkan secara proporsional akan berdampak pada beragam aspek kehidupan yang dijalaninya. Atau bahkan kondisi emosi yang tidak diolah dengan baik akan berbalik membentuk sang anak menjadi pelaku kriminal atau bahkan bully yang jauh lebih kejam daripada orang-orang yang melakukan bully kepadanya.

Masih ingat dengan beberapa kasus penembakan di beberapa kampus di Amerika? Banyak dari pelaku adalah anak-anak yang mengalami tekanan yang diawali oleh bully hingga akhirnya hidup menyenderi yang hanya bertemankan video game yang penuh kekerasan. Hingga akhirnya ide-ide kekerasan terbentuk di dalam pikirannya dan memicu untuk melampiaskan rasa “tertekan” nya dulu ketika di bully.

Semoga kita semua bisa meredam segala macam bentuk perilaku bully yang ada disekitar kita atapun yang ada di dekat anak kita. Karena bully dapat menyebabkan rasa sakit secara sosial, stres dan depresi, menyalahkan diri sendiri, dan ketidakmampuan mengolah emosi secara baik. Mari jaga kesehatan mental dan otak anak kita dari beragam aktivitas bully. [Mrf]