Dakwah Terang-terangan Umar Bin Khattab

Dakwah Terang-terangan Umar Bin Khattab
Ilustrasi Umar bin Khattab

MONITORDAY.COM - Sehari setelah masuk Islam, Umar mengingat-ingat siapa yang paling keras memusuhi Rasulullah. Jawabannya pun langsung ditemukan, “Abu Jahal!” Tanpa membuang waktu, Umar pergi mengetuk pintu rumah Abu Jahal. Abu Jahal keluar dan menyambut Umar,

“Selamat datang, wahai kemenakanku! Kabar apakah gerangan yang engkau bawa?”

“Aku datang untuk memberitahukan kepadamu bahwa aku telah memercayai ajaran-ajaran Muhammad!”

Wajah Abu Jahal pucat. Sambil membanting pintu, ia berseru lantang,

“Mudah-mudahan tuhan mengutukmu. Alangkah buruknya kabar yang engkau bawa!”

Tidak berhenti sampai disitu, di sepanjang jalan, Umar memberi tahu setiap orang bahwa ia telah memeluk Islam.

Setelah itu, Umar pergi ke Ka’bah dan mengumumkan keislamannya. Rasa takut bercampur benci semakin membengkak di hati orang-orang Quraisy yang masih kafir.

Setelah masuk Islam, Umar bertanya,

“Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran mati maupun hidup?”

Ketika Rasulullah membenarkannya dengan tegas, Umar meminta agar Rasulullah dan kaum Muslimin keluar secara terang-terangan. Rasulullah menyetujui hal itu. Beliau dan umatnya pun keluar ke jalan-jalan Kota Mekah dalam dua barisan menuju Masjidil Haram. Barisan sebelah kanan Rasulullah dipimpin oleh Hamzah dan barisan di sebelah kiri dipimpin oleh Umar bin Khattab.

Sejak itulah Umar digelari Al Faruq (sang pembeda kebenaran dan kebathilan).

Islam kemudian menjadi bahan diskusi hangat di Kota Mekah. Mereka yang penasaran terus bertanya kepada temannya yang Muslim. Sementara itu, mereka yang benci tidak henti-hentinya menjelekkan agama ini.

“Apa yang diajarkan agama baru ini? Katakan kepadaku, Sobat. Biar aku paham mengapa kamu begitu mudah meninggalkan agama nenek moyang kita,” kata seseorang kepada sahabatnya.

“Engkau tahu bahwa hidupku sangat sulit,” jawab teman Muslimnya,
“setiap kali kulihat orang-orang kaya mengendarai kuda-kuda istimewa, mengenakan pakaian mewah, dan memasuki rumah megah, aku jadi bertanya, untuk apa sebenarnya Tuhan menciptakan aku ini? Aku tidak bisa menikmati hidup kecuali bekerja keras untuk makan sehari-hari. Aku tidak tahu setelah aku mati akan ke mana aku pergi. Sungguh sulit rasanya menjadi orang yang berharga dan mulia.”

Sang muslim menoleh dan melihat wajah temannya itu tampak bersungguh-sungguh.

“Namun kemudian, Islam datang dan mengajarkan bahwa kemuliaan bukan terletak pada tumpukan emas dan perak kita, akan tetapi pada sebanyak apa kebaikan yang telah kita buat. Islam tidak melarang perdagangan dan orang menjadi kaya, tetapi Islam mengajarkan bahwa nilai cinta kasih, persaudaraan, tolong-menolong, dan kebersamaan berada jauh di atas nilai setumpuk harta.

Tahukah engkau, setelah datangnya Islam, aku merasa menjadi yang lebih berarti daripada sebelumnya.”

Sang teman mengangguk-angguk.

“Lebih dari itu,” lanjut si Muslim,
“Islam mengenalkan aku kepada siapa sebenarnya Pencipta alam yang patut disembah: bukan berhala yang tidak bisa apa-apa, melainkan Allah.

Melalui Rasulullah, Allah menurunkan perkataan-Nya buat kita. Coba dengarkan beberapa ayat berikut ini. Engkau akan tahu bahwa tidak seorang penyair pun yang mampu menandingi keindahan bahasanya apalagi kebenaran isinya.”

Kemudian, beberapa ayat Al Qur’an mengalun dari mulut si Muslim dan langsung menembus hati temannya yang kini kian larut dan kian dekat pada kebenaran.