Ancaman Pandemi: Krisis Ekonomi dan Krisis Pangan Berkepanjangan

Ancaman Pandemi: Krisis Ekonomi dan Krisis Pangan Berkepanjangan
ilustrasi petani di negara dunia ketiga/ net

MONITORDAY.COM - Dunia agak bernafas lega meski pandemi belum juga berlalu. Krisis kesehatan secara bertahap pelan tapi pasti semakin membaik. Namun ancaman krisis ekonomi berkepanjangan semakin terlihat nyata. Organisasi Keuangan Dunia International Monetary Fund (IMF) sebagai organisasi keuangan internasional turut memperingatkan krisis ekonomi berkepanjangan akibat Covid-19.

Kepala IMF Kristalina Georgieva belum lama ini mengatakan bahwa pandemi akan menyebabkan krisis ekonomi berkepanjangan. Banyak negara akan semakin tertinggal akibat krisis ini. Georgieva mendesak pemerintah untuk meningkatkan distribusi vaksin agar Covid-19 bisa segera dikendalikan. Menegaskan kembali bahwa dampak pandemi bagi perekonomian benar-benar nyata.

Kemajuan yang lebih cepat dalam mengakhiri krisis kesehatan dapat meningkatkan pendapatan global secara kumulatif sebesar US$ 9 triliun selama tahun 2020-2025. Pendapatan tersebut harus digunakan untuk pembiayaan untuk vaksinasi, realokasi kelebihan pasokan ke negara-negara dengan kekurangan, dan peningkatan produksi vaksin. Pada akhir tahun 2022 mendatang, pasar berkembang dan negara berkembang disebut akan mencatat pendapatan per kapita 22% lebih rendah dari masa sebelum krisis. Sementara di negara maju, nilainya hanya 13% lebih rendah.

Antisipasi kemungkinan krisis pangan

Airlangga menjelaskan US Departement of Agriculture (USDA) International Grains Council (IGC) memproyeksikan bahwa produksi padi global pada 2019/2020 menurun 0,4% sampai 0,5%, dibandingkan dengan produksi pada 2018/2019.

Dalam presentasi yang dipaparkan Airlangga, tercatat realisasi padi secara global yang tercatat oleh IGC pada 2019-2020 diproyeksikan sebesar 498 juta ton atau lebih rendah dari realisasi 2018-2019 yang mencapai 500,1 juta ton.

Di tahun 2017, Prof. Dr. Ambo Ala di laman web Wantimpres pernah mengungkapkan bahwa demand pangan dunia menunjukkan tendensi peningkatan yang lebih cepat dari supplay. FAO (2008) memperkirakan kebutuhan pangan untuk  negara-negara berkembang akan meningkat sebesar 60% pada tahun 2030 dan berlipat dua kali pada tahun 2050, atau ekivalen dengan kebutuhan peningkatan produksi dunia sebesar 42% pada tahun 2030 dan 70% pada tahun 2050.

Peningkatan demand pangan sebagai konsekuensi dari peningkatan populasi dunia yang menurut skenario bahwa penduduk dunia akan bertambah sebanyak 73 juta orang setiap tahun antara tahun 1995-2020, ini berarti terjadi peningkatan sebesar 32% dalam kurun waktu tersebut, sehingga diperkirakan penduduk dunia akan mencapai 7,5 milyar orang pada tahun 2020 (Behnassi dan Sanni, 2011). Peningkatan kebutuhan pangan yang cukup tajam akan menyebabkan kenaikan harga semua jenis bahan pangan, sehingga jumlah   penduduk miskin dan kelaparan meningkat.

Saat ini, jumlah penduduk dunia yang miskin dan kelaparan setiap hari  sudah melebihi 1 milyar orang (lebih dari 15% dari populasi), karena tidak dapat akses pangan yang diperlukan untuk hidup sehat dan produktif. Mereka tidak memperoleh haknya akan pangan yang cukup (pangan merupakan hak asasi). Terjadi paradoksal, di mana peningkatan produksi pangan tetap terjadi, sementara jumlah penduduk yang kelaparan terus meningkat.

Krisis pangan juga diperparah oleh kondisi jangka pendek yang terjadi akibat kenaikan harga komoditi pangan yang cukup signifikan. Krisis pangan dunia mulai terjadi pada tahun 2007 yang ditandai dengan melonjaknya angka kelaparan. Kemudian diikuti dengan ‘shock’ harga bahan pangan pada pertengahan tahun 2008 menyebabkan semakin bayaknya penduduk yang tidak mampu menjangkau pangan dengan harga yang tinggi, sehingga pada tahun 2009 terjadi peningkatan angka kelaparan yang sangat signifikan. Kejadian ini dipicu oleh isu terjadinya gangguan iklim di beberapa negara produsen, rendahnya stok pangan nasional berbagai negara, dan terjadinya konversi bahan pangan menjadi energi biofuel.

Kegagalan supplay untuk memenuhi demand yang meningkat tajam menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan dan struktural sistem pertanian dunia, Penyebab dari ketidakseimbangan struktural ini berganda. Di sisi supply faktor utamanya adalah ketidakcukupan aliran sumber daya ke pertanian dari pihak swasta, dan pemerintah, serta negara-negara donor ke negara-negara berkembang, sehingga investasi d ibidang pertanian sangat terbatas. Di sisi demand, daya beli masyarakat rendah akibat tingginya angka kemiskinan.